Salahsatu bentuk krisis lingkungan hidup yang melanda planet bumi selama ini adalah kerusakan hutan. Kerusakan hutan tampak dalam bentuk-bentuk, seperti: Illegal logging, penggembalaan dan satwa liar, pembakaran hutan, dan pencurian hasil hutan. Beberapa faktor penyebab munculnya aksi perusakan hutan seperti itu, antara lain: pengaruh tindakan manusia, faktor fundamental Kerusakan lingkungan adalah kerusakan terhadap komponen lingkungan seperti udara dan tanah yang kemudian dapat memicu punahnya makhluk hidup yang ada di dalam lingkungan tersebut.. Kerusakan lingkungan dapat terjadi secara alami maupun sebagai akibat perbuatan manusia. Kerusakan alam yang disebabkan oleh perbuatan manusia adalah penebangan hutan, penangkapan ikan secara besar-besaran, dan pengendalian hama menggunakan pestisida. Tindakan tersebut dapat mengganggu keseimbangan lingkungan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi perusakan lingkungan akibat ulah manusia adalah dengan pelestarian hutan dan reboisasi. Dengan demikian, pilihan jawaban yang tepat adalah C. Pasal55 (1) Pemegang izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup. (2) Dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
- Keberadaan lingkungan hidup memengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Lingkungan hidup yang terjaga dengan baik akan membawa kebaikan pula bagi setiap makhluk hidup di dalamnya. Dalam konsep lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan, makhluk hidup, termasuk manusia dengan tingkah lakunya. Lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi lingkungan hidup alamiah dan lingkungan hidup buatan binaan. Lingkungan hidup alamiah merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, keadaan, makhluk hidup, dan komponen-komponen abiotik lainnya, yang terbentuk tidak melalui campur tangan manusia. Contohnya lingkungan hidup ini adalah hutan primer. Komponen-komponen dalam lingkungan hidup alamiah akan saling berinteraksi. Interaksi tersebut akhirnya membentuk sebuah ekosistem. Menurut buku IPS 2 Kelas VIII Kemdikbud 2009, ekosistem yaitu satu kesatuan lingkungan hidup yang membentuk suatu wilayah. Dalam ekosisten terdapat lingkungan hayati, non-hayati, hingga lingkungan buatan mau pun lingkungan sosial. Komponen lingkungan hidup alamiah bisa mengalami pergantian akibat pengaruh alam seperti gempa bumi, kebakaran, dan sebagainya. Namun, umumnya pergantian tersebut selalu membentuk komunitas yang stabil. Sementara itu, lingkugan hidup buatan adalah lingkungan hidup alamiah yang telah didominasi kedatangan manusia. Kemunculannya disebabkan kebutuhan hidup manusia akibat lonjakan jumlah penduduk, sehingga diperlukan pengubahan pada lingkungan hidup alamiah. Dampak dari lingkungan hidup buatan yaitu hadirnya limbah yang dihasilkan dari aktivitas manusia dan berdampak pada manusa itu sendiri. Unsur-unsur lingkungan hidup Lingkungan hidup memiliki tiga unsur atau komponen yang terdiri dari komponen biotik, abiotik, dan sosial budaya. Komponen biotik yaitu komponen makhluk hidup di suatu lingkungan. Komponen ini disebut pula sebagai hayati. Komponen biotik terdiri atas tumbuhan, hewan, manusia, hingga mikroorganisme. Semua bentuk makhluk hidup masuk dalam komponen ini. Mereka saling berinteraksi dengan sesamanya di lingkungan yang menjadi tempat hidupnya. Sementara itu, komponen abiotik adalah komponen yang berupa benda mati. Macamnya terdiri atas tanah, udara, air, susu, udara, sinar matahari, mineral, dan kadar garam. Fungsi komponen ini sebagai media untuk menunjang kelangsungan makhluk hidup di suatu lingkungan. Komponen lingkungan hidup terakhir adalah sosial budaya. Sosial budaya turut menjadi pembentuk unsur lantaran perilaku manusia sangat berpengaruh pada lingkungan hidup. Dengan sosial budaya, manusia dapat memenuhi hajat hidupnya dan mempermudah berinteraksi dengan lingkungannya. Contoh dari unsur sosial budaya ini tampak dari penciptaan pakaian tebal untuk daerah dingin dan pakaian tipis di daerah panas. Melalui cara ini, manusia dapat berinteraksi dengan lingkungan alam tanpa mengalami hambatan. Bentuk kerusakan lingkungan hidup Dalam buku IPS Kelas VIII Kemdikbud 2010 disebutkan, lingkunan memiliki peran penting dalam kehidupan. Lingkungan dapat menjadi tempat tinggal dan sumber kehidupan. Namun, peran tersebut akan mengalami ketidakseimbangan tatkala lingkungan mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut yang muncul dapat dibedakan menjadi dua macam berdasarkan penyebabnya, yaitu 1. Kerusakan lingkungan hidup oleh faktor alamKerusakan ini muncul karena peristiwa yang disebabkan oleh alam. Misalnya yaitu gunung meletus, abrasi, angin tornado, gempa bumi,tsunami, dan sebagainya. Pada letusan gunung berapi, contohnya, semakin kuat letusannya maka akan membuat kerusakan lingkungan yang cukup parah. Pada kasus tanah longsor, sering kali membuat pemukiman hancur atau lahan pertanian hilang. Begitu pula pada gempa bumi, semakin kuat getarannya maka kerusakan makin meluas. 2. Kerusakan lingkungan hidup akibat kegiatan dibandingkan dengan faktor alam, kerusakan lingkungan karena kegiatan manusia jauh lebih besar. Manusia dengan segala aktivitas tidak jarang membuat kondisi lingkungan hidup tidak lagi seimbang. Seperti pada kehadiran industri di sebuah wilayah, tidak jarang membuat lingkungan di sekitarnya tercemar. Belum lagi di perkotaan, kondisi air, tanah, hingga udara banyak yang tercemar. Penggunaan alat transportasi membuat kadar karbondioksida meningkat. Lahan-lahan serapan air pun makin menipis di perkotaan karena dialih fungsi menjadi bangunan permanen. Berbagai jenis kerusakan akibat ulah manusia di antaranya yaitu kerusakan lingkungan tanah, kerusakan lingkungan hutan, kerusakan lingkungan laut, kerusakan lingkungan kota, kerusakan lingungan desa, dan kerusakan lingkungan juga Mengenal Tanda-tanda Kelelahan Mental & Emosional Saat Pandemi Apa Itu Karet Alami dan Sintesis Kenali Jenis hingga Sifatnya Kenali 4 Kategori Gejala COVID-19 dan Cara Penanganannya - Pendidikan Kontributor Ilham Choirul AnwarPenulis Ilham Choirul AnwarEditor Maria Ulfa
Dilansirdari Ensiklopedia, berikut ini yang bukan merupakan ciri-ciri makhluk hidup adalah berbicara, dapat beradaptasi, dan memerlukan makan dan minum. Pembahasan dan Penjelasan Menurut saya jawaban A. bergerak, peka terhadap rangsang, dan berkembang biak adalah jawaban yang kurang tepat, karena sudah terlihat jelas antara pertanyaan dan
ds8842175 ds8842175 Biologi Sekolah Menengah Atas terjawab tindakan manusia berikut ini yang tidak merusak lingkungan adalah a penangkapan ikan dengan menggunakan racun B eksploitasi hutan secara liar B penebangan hutan secara berencana D pemberantasan hama dengan pestisida pembangunan daerah industri yang tidak memperhatikan keserasian​ Iklan Iklan crystianhura crystianhura JawabanCPenjelasankarena penebangan hutan secara berencana tidak merusak lingkungan,sebab setelah menebang pohon mereka akan menanam pohon sebagai gantinya Iklan Iklan Pertanyaan baru di Biologi Karbon akan mengalami perpindahan dari tumbuhan hijau menuju hewan. Bagaimanakah hal ini dapat terjadi?​ Bantu Jawab ya Apa hubungan antara genotipe dan fenotipe dalam pewarisan sifat? a. Genotipe menentukan fenotipe. b. Fenotipe menentukan genotipe. c. G … enotipe dan fenotipe saling mempengaruhi. d. Genotipe dan fenotipe tidak memiliki hubungan. mksh yang sudah jawab dendrokronologi merupakan ilmu yang menganalisis pertumbuhan lingkran tahun hal ini berguna dalam mempelajari perbahan iklim . mempelajari pola iklim … membutuhkan perbandingan suhu masa lalu dan sekarang. sekelompok ilmuan memeriksa pertumbuhan lingkaran tahun Dengan memeriksa cincin pertumbuhan tumbuhan runjung mongolia yang berasal dari pertengahan tahun aan. hasil penelitian tersebut disajikan dlm grafik dibawah indeks yg lebih tinggi menunjukan lingkaran tahun yang lebih lebar dan suhu yg lebih tinggi. cermati beberapa pertanyaan berikut ini. a. perubahan lingkungan menyebabkan indeks lingkaran tahun dalam seribu tahun berakhir terus meningkat. b. semakin meningkat gas karbondioksida di atmosfer mempengaruhi pertumbuhan lingkaran tahun. c. atmosfer semakin panas selama seribu tahun terakhir.​ pada proses pematangan buah kurma terjadi penambahan ukuran buah selama proses penambahan ukuran tersebut di dalam sel-sel buah kurma mengalami proses … sitokinesis dan terjadi pembentukan sel plate dari hasil penggabungan partikel yang dihasilkan dari​ berdasarkan pohon filogenetik diatas burung lebih dekat kekerabatan nya dengan buaya dibandingkan dengan kadal benarkah pertanyaan tersebut..​ Sebelumnya Berikutnya
Pengelompokandidasarkan atas identifikasi makhluk hidup dalam suatu kelompok yang sama. Makhluk hidup yang memiliki ciri- ciri yang sama dikelompokkan dalam bentuk tingkatan takson yang sama. 3. Pemberian nama kelompok Para ahli taksonomi yang telah melakukan penelitian terhadap berbagai jenis hewan maupun tumbuhan, mereka telah

ArticlePDF Available AbstractIn Article 33 paragraph 3 of the 1945 Constitution which states that 'earth and water and natural resources contained therein is controlled by the State and used for the greatest prosperity of the people ". The provision is further stipulated in Law No. 23 of 2009 on the Protection and Environmental Management, in the provisions of Article 57 paragraph 1 regulates the procedure for the maintenance of the environment, namely "Maintenance of the environment is done through the efforts of a. conservation of natural resources; b. reserves of natural resources; and / or c. conservation atmosphere. "But in fact the implementation of the article can not be implemented to the fullest. The use of earth and water and natural resources for the prosperity of the people in Indonesia has not run well, this is caused by the rampant environmental pollution rife Indonesia, water pollution, air pollution and soil contamination. Pollution and destruction of the environment is one of the serious threat to the conservation of the environment in Indonesia. Disturbed environmental balance needs to be restored function as the giver of life and welfare benefits society by improving environmental protection, community development and optimization of environmental law enforcement, it aims to maintain the existence of nature and aimed at solving environmental problems in Indonesia, especially the caused by human activity. in this case could penegakanya through civil, administrative or criminal law, so that it can cope with and take action against perpetrators of pollution, and the destruction of the environment and create a good environment, healthy, beautiful and comfortable for all Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Ketentuan tersebut diatur lebih lanjut didalam UU No. 23 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, di dalam ketentuan Pasal 57 ayat 1 diatur mengenai tata cara pemeliharaan lingkungan hidup yaitu“Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya a. konservasi sumber daya alam; b. pencadangan sumber daya alam; dan/atau c. pelestarian fungsi atmosfer.” Namun pada kenyataanya pelaksanaan dari pasal tersebut belum bisa dilaksanakan secara maksimal. Penggunaan bumi dan air dan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat di Indonesia belum berjalan secara baik, hal ini diakibatkan oleh semakin maraknya pencemaran lingkungan yang marak terjadi Indonesia, baik pencemaran air, pencemaran udara maupun pencemaran tanah. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup merupakan salah satu ancaman yang serius bagi kelestarian lingkungan hidup di Indonesia. Lingkungan hidup yang terganggu keseimbangannya perlu dikembalikan fungsinya sebagai pemberi kehidupan dan pemberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dengan cara meningkatkan perlindungan lingkungan hidup, pembinaan masyarakat dan optimalisasi penegakan hukum lingkungan, hal ini bertujuan untuk menjaga eksistensi alam dan bertujuan untuk menyelesaikan masalah lingkungan hidup di Indonesia khususnya yang disebabkan oleh ulah manusia. dalam hal ini penegakanya bisa melalui jalur hukum perdata, administrasi maupun hukum pidana, sehingga dapat menanggulangi serta menindak pelaku pencemaran, dan pengrusakan lingkungan dan tercipta lingkungan yang baik, sehat, indah dan nyaman bagi seluruh rakyat. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Juni 2018 [WACANA HUKUM JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI] Arifin Ma’ruf Aspek-aspek Hukum Mengenai Lingkungan Hidup...... ASPEK HUKUM LINGKUNGAN HIDUP DALAM UPAYA MENCEGAH TERJADINYA KERUSAKAN DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Arifin Ma’ruf** **Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, E-mail arifindo78 Revisi 22/03/2018 Diterima 1/04/2018 Terbit 30/06/2018 Keywords Environmental Law, Environmental Pollution, Environmental Damage. In Article 33 paragraph 3 of the 1945 Constitution which states that 'earth and water and natural resources contained therein is controlled by the State and used for the greatest prosperity of the people ". The provision is further stipulated in Law No. 23 of 2009 on the Protection and Environmental Management, in the provisions of Article 57 paragraph 1 regulates the procedure for the maintenance of the environment, namely "Maintenance of the environment is done through the efforts of a. conservation of natural resources; b. reserves of natural resources; and / or c. conservation atmosphere. "But in fact the implementation of the article can not be implemented to the fullest. The use of earth and water and natural resources for the prosperity of the people in Indonesia has not run well, this is caused by the rampant environmental pollution rife Indonesia, water pollution, air pollution and soil contamination. Pollution and destruction of the environment is one of the serious threat to the conservation of the environment in Indonesia. Disturbed environmental balance needs to be restored function as the giver of life and welfare benefits society by improving environmental protection, community development and optimization of environmental law enforcement, it aims to maintain the existence of nature and aimed at solving environmental problems in Indonesia, especially the caused by human activity. in this case could penegakanya through civil, administrative or criminal law, so that it can cope with and take action against perpetrators of pollution, and the destruction of the environment and create a good environment, healthy, beautiful and comfortable for all people. Hukum Lingkungan, Polusi dan Kerusakan Lingkungan. P-ISSN 1412-310x E-ISSN xxxxxxxxx Dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Ketentuan tersebut diatur lebih lanjut didalam UU No. 23 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, di dalam ketentuan Pasal 57 ayat 1 diatur mengenai tata cara pemeliharaan lingkungan hidup yaitu“Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya a. konservasi sumber daya alam; b. pencadangan sumber daya alam; dan/atau c. pelestarian fungsi atmosfer.” Namun pada kenyataanya pelaksanaan dari pasal tersebut belum bisa dilaksanakan secara maksimal. Penggunaan bumi dan air dan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat di Indonesia belum berjalan secara baik, hal ini diakibatkan oleh semakin maraknya pencemaran lingkungan yang marak terjadi Indonesia, baik pencemaran air, pencemaran udara maupun pencemaran tanah. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup merupakan salah satu ancaman yang serius bagi kelestarian lingkungan hidup di Indonesia. Lingkungan hidup yang terganggu keseimbangannya perlu dikembalikan fungsinya sebagai pemberi kehidupan dan pemberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dengan cara meningkatkan perlindungan lingkungan hidup, pembinaan masyarakat dan optimalisasi penegakan hukum lingkungan, hal ini bertujuan untuk menjaga eksistensi alam dan bertujuan untuk menyelesaikan masalah lingkungan hidup di Indonesia khususnya yang disebabkan oleh ulah manusia. dalam hal ini penegakanya bisa melalui jalur hukum perdata, administrasi maupun hukum pidana, sehingga dapat menanggulangi serta menindak pelaku pencemaran, dan pengrusakan lingkungan dan tercipta lingkungan yang baik, sehat, indah dan nyaman bagi seluruh rakyat. Juni 2018 [WACANA HUKUM JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI] Arifin Ma’ruf Aspek-aspek Hukum Mengenai Lingkungan Hidup...... PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kekayaan alam yang sangat besar. Oleh karena itu maka perlindungan serta pemeliharaan terhadap alam dan lingkungan hidup di Indonesia sangatlah Pasal 57 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur mengenai tata cara pemeliharaan lingkungan hidup yaitu pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya a. konservasi sumber daya alam; b. pencadangan sumber daya alam; dan/atau c. pelestarian fungsi atmosfer. Indonesia juga berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dampak tersebut meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta penyakit manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan punahnya keanekaragaman hayati. Kerusakan lingkungan juga disebabkan oleh bencana alam yang dahsyat, misalnya meletusnya gunung merapi, gempa bumi, tanah longsor dan sebagainya. Masalah lingkungan bagi manusia dapat dilihat dari segi menurunya kualitas lingkungan yang menyangkut nilai lingkungan untuk kesehatan, kesejahteraan, dan ketentraman, sehingga nilai lingkungan untuk berbagai bentuk pemanfaatan akan hilang atau berkurangnya nilai lingkungannya karena pemanfaatan tertentu oleh manusia. Untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan hidup di Indonesia maka sangat perlu adanya perlindungan dan penjagaan terhadap lingkungan hidup di terjaganya alam dan lingkungan hidup yang bersih maka bisa menghindari berbagai mudzarat dan berbagai penyakit. Jika lingkungan hidup kotor dan tidak bersih, maka penegakan hukum dalam lingkungan hidup dan pemberian sanksi yang tegas terhadap pelaku pelaku yang melakukan pelanggaran sudah seharusnya ditegakkan di negeri tercinta Indonesia ini. Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia harus berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus memberikan manfaat dibidang ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Dalam Pasal 3 UU No. 23 Tahun 2009 menjelaskan tentang tujuan dari Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, tujuan tersebut diantaranya adalah a. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; c. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; d. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; e. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai pulau. Negara dengan julukan zamrud khatulistiwa ini terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera. Indonesia memiliki iklim tropis, cuaca dan musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi nilainya, termasuk kekayaan keanekaragaman hayati, Indonesia terletak pada koordinat 940 45’ BT dan 1410 05’ BT serta pada 060 08’ LU dan 110 15’ LS. Luas wilayah mencapai 5,2 juta km2 yang terdiri dari 1,9 juta km2 wilayah daratan dan 3,3 juta km2 wilayah lautan. Luas kawasan hutan Indonesia per pulau pada tahun 2005 adalah Jawa 19%, Sumatera 54%, Kalimantan 43%, Sulawesi 43%, dan Papua 71%. Namun yang terjadi di Indonesia terjadi penyusutan luas hutan tersebut hamper terjadi merata di seluruh daerah aliran sungai DAS. Di DAS Batanghari sebagai contoh, dalam kurun waktu 5 tahun dari tahun 1997-2002 terjadi penyusutan lahan berhutan lahan kering kurang lebih Ha atau rata-rata per tahun terjadi penyusutan hutan seluas Ha atau 7,49 persen terhadap luas hutan tahun 1977. Sedangkan hutan rawa terjadi penyusutan Ha atau 40,51 persen terhadap luas hutan 1997 selama lima tahun atau 20,223 Ha per tahun. Lihat Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2010, Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. p. 3. Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Taun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingungan Hidup, Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 140 Andi Hamzah, 1995, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta Arikha Media Cipta, p. 7-6. Ibid. Juni 2018 [WACANA HUKUM JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI] Arifin Ma’ruf Aspek-aspek Hukum Mengenai Lingkungan Hidup...... f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; g. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; h. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; i. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan j. Mengantisipasi isu lingkungan global. Lingkungan merupakan salah satu Sumber Daya. Oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan sumber daya tersebut secara bijaksana. Berkaitan dengan memasukkan lingkungan sebagai sumber daya, maka pada prinsipnya lingkungan merupakan sumber daya yang dibutuhkan keberadaanya oleh mahluk lainya, khususnya manusia. Atas dasar pemikiran inilah, Otto Soemarwoto membagi kebutuhan dalam 3 bagian besar yakni 1. Kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup hayati, mahluk hidup selalu berusaha untuk menjaga kelangsungan hidupnya tidak saja secara individu melainkan juga sebagai jenis. 2. Kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup Manusiawi, berbeda dengan mahluk hidup yang lain, manusia tidak cukup hanya sekedar hidup secara hayati, melainkan karena kebudayaania harus hidup secara manusiawi. 3. Kebutuhan dasar untuk memilih, kemampuan untuk memilih merupakan sifat hakiki mahluk untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, baik pada tumbuhan , hewan maupun manusia. Hukum lingkungan dalam bahasa Inggris disebut environmental law, dalam bahasa Belanda disebut umweltrecht, dalam bahasa Prancis disebut droit de environment, sedangkan Malaysia dengan bahasa Melayu disebut hukum alam sekitar. Dari semua istilah tersebut menunjukkan bagian hukum yang berkaitan dengan lingkungan fisik dan dapat diterapkan untuk mengatasi pencemaran, dan perusakan lingkungan fisik. Hukum lingkungan pada umumnya bertujuan untuk menyelesaikan masalah lingkungan khususnya yang disebabkan oleh ulah manusia, yaitu menanggulangi pencemaran, pengurasan, dan perusakan lingkungan sehingga tercipta lingkungan yang baik, sehat, indah dan nyaman bagi seluruh rakyat. Hukum lingkungan sebagaimana yang kita pahami sekarang merupakan sebuah konsep yang relatif masih baru. Menurut Munadjat Danusaputro, ia tumbuh sejalan bersamaan dengan tumbuhnya pengertian dan kesadaran untuk melindungi dan memelihara pencemaran dan perusakan lingkungan bukan lagi merupakan masalah lokal, tetapi sekarang menjadi masalah nasional bahkan internasional. Tingkat pencemaran dan perusakan juga jauh lebih hebat karena kemajuan tekhnologi untuk mengatasi kerusakan lingkungan yang semakin parah perlu adanya faktor lain yang turut menentukan terciptanya lingkungan yang baik, yaitu pendidikan, kesadaran hukum, teknologi, dan yang tidak kurang pentingnya adalah keuangan yang memadai untuk membiayai proyek pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan, bahkan usaha meningkatkan mutu dan keindahan lingkungan. Usaha penegakan hukum lingkungan tidak menjadi tugas pemerintah saja tetapi seluruh anggota masyarakat harus ikut serta, bahkan harus dimulai dari rumah tangga dan dirinya sendiri. Selain itu perlu juga kerjasama antar instansi tersebut harus serasi, terkoordinasi, dan terpadu dan Supriadi, Hukum Lingkungan Indonesia, Sebuah Pengantar Jakarta Sinar Grafika, 2008, p. 4-5. Hukum lingkungan merupakan hukum yang mengatur tentang lingkungan fisik dan masalah lingkungan yang berkaitan dengan gejala sosial,seperti pertumbuhan penduduk, migrasi, dan tingkah laku sosial hukum, tidak semata -mata menyangkut ilmu alam tetapi juga berkaitan dengan gejala sosial. Hukum lingkungan pada umumnya bertujuan untuk menyelesaikan masalah lingkungan khususnya yang disebabkan oleh ulah manusia, yaitu menanggulangi pencemaran, pengurasan, dan perusakan lingkungan sehingga tercipta lingkungan yang baik, sehat, indah dan nyaman bagi seluruh rakyat. Lihat Soejono, 1996, Hukum Lingkungan dan Peranya dalam Pembangunan Jakarta PT Rineka Cipta, p. 5. Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan ……p. 9-13. Juni 2018 [WACANA HUKUM JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI] Arifin Ma’ruf Aspek-aspek Hukum Mengenai Lingkungan Hidup...... penegakan hukum yang baik. Menurut Simorangkir, Hukum merupakan Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, dan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman yang dimaksud dengan penegakan hukum dalam Bahasa Inggris disebut law enforcement, bahasa belenda disebut Rechthandhaving. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan dikembangkannya istilah the rule of law’ versus the rule of just law’ atau dalam istilah the rule of law and not of man’ versus istilah the rule by law’ yang berarti the rule of man by law’. Dalam istilah the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah the rule of just law’. dan dalam istilah the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan memastikan tegaknya hukum, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Dalam ruang nasional, hukum lingkungan menempati titik silang berbagai hukum klasik, yaitu hukum publik dan privat. Yang termasuk hukum publik adalah hukum pidana, hukum pemerintahan administrative, hukum pajak, hukum tata negara, hukum kita sebenarnya telah mengatur tentang pemanfaatan alam dan lingkungan untuk masyarakat yaitu terdapat didalam dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Namun pada kenyataanya penggunaan bumi dan air dan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat di Indonesia belum bias berjalan secara maksimal, hal ini diakibatkan oleh banyaknya pencemaran lingkungan yang marak terjadi Indonesia, baik pencemaran air, pencemaran udara maupun pencemaran tanah. Misalnya saja dalam hal pencemaran air bahwa menurut Hasil survei Kementerian Lingkungan Hidup berdasarka pemantauan terhadap 52 sungai di Tanah Air mulai dari 2006 sampai 2011, menyatakan bahwa kondisi pencemaran air di Indonesia telah meningkat hingga 30 persen. PEMBAHASAN Sejarah Perkembangan Hukum Lingkungan Environmental Law di Indonesia Hukum Lingkungan baru berkembang sangat pesat pada ahir tahun 1968 dan permulaan tahun 1970. Pada tahun 1972 diadakan konferensi internasional pertama dan bersejarah di Stockholm, Swedia. Sejak itu negara-negara mulai sadar dan bangkit dalam menaruh perhatian besar dalam Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jakarta Balai Pustaka, , p. 38. Dalam undang-undang Lingkungan Hidup yang baru dan lama, tidak ditemukan mengenai pengertian penegakan hukum itu secara harfiah. Namun demikian untuk memberikan kejelasan mengenai pengertian penegakan hukum tersebut, akan diambil pengertian sebagaimana yang diatur dalam bahasa belanda, yatiu handhaving. Menurut Notie handhaving Mileurecht, 1981 disebutkan bahwa Penegakan Hukum adalah pengewasan dan penerapan atau dengan ancaman penggunaan instrumen administratif, kepidanaan, atau keperdataan untuk mencapai penaatan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku umum dan individu. penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang -undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lihat A. Hamzah, 1995, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta Arikha Media Cipta, p. 61., Lihat Juga Jimly Asshiddiqie, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Ketu a Dewan Penasihat Asosiasi Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara Indonesia. Juni 2018 [WACANA HUKUM JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI] Arifin Ma’ruf Aspek-aspek Hukum Mengenai Lingkungan Hidup...... mengelola lingkungan termasuk penciptaan perangkat peraturan perundang-undangan mengenai pelestarian hidup manusia, penyusunan program-program untuk menanggulangi pencemaran, perusakan, dan pengurasan lingkungan. Di Jerman, pemerintah federal jerman pada tahun 1970 membuat program-program mengenai lingkungan dan menyeluruh pada tahun 1972, yang disempurnakan pada tahun 1976. Selanjutnya di Kanada, dalam KUHP kanada, dapat ditemukan ketentuan yang berkaitan dengan lingkungan, yaitu pasal 180 KUHP tahun 1989. Di India, negara yang baru tersentak setelah terjadinya malapetaka di pabrik Union Carbide pada tanggal 23 desember 1984, dan mereka mendadak menyusun undang-undang lingkungan yang disebut environmental protection act 1986. Di RRC, RRC memasukkan pengaturan lingkungan secara mendasar kedalam konstitusi tahun 1978, kemudian tahun 1982. Di Belanda, sejak 13 januari 1979 Belanda sudah memiliki UU Induk payung untuk lingkungan yang dinamai Wet Algemene Bepalingen Milieuhygyene Undang Undang Ketentuan Umum Kesehatan Lingkungan yang telah berkali kali diubah dan terahir pada 18 januari 1990, Dan di Amerika Serikat, perangkat peraturan perundang undangan lingkungan dimulai pada tahun 1969, pada tahun itu diciptakan National Enviromental Policy act NEPA. Dasar konstitusioal pengelolaan lingkungan atau sumber daya alam di negara Indonesia tercantum dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menegaskan bahwa, “Bumi air dan kekayan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” dan di Indonesia sendiri perancangan mengenai hukum lingkungan Environmental Law dimulai sejak terjadinya eksploitasi dan eksplorasi mineral, khususnya migas di perairan Indonesia merupakan perkembangan baru dalam hukum laut Indonesia, kegiatan ini juga meliputi daerah-daerah laut yang terletak di luar daerah Negara kita, hal ini terjadi menjelang ahir tahun 1969, pada saat perjanjian bilateral tentang landasan kontinen diadakan antara Indonesia dengan Negara-negara tetangga. Tahap lanjut dari perkembangan ini ialah dengan ditetapkanya UU No. 1 Tahun 1973 tentang landasan kontinen dengan ketentuan pelaksanaanya. Kemudian pada tahun yang sama dan tahun berikutnya perundang-undangan tentang pencemaran laut dari kegiatan perminyakan lepas pantai juga berkembang, termasuk peraturan umum Pertamina tentang Pencemaran. Dengan perkembangan ini dapat dikatakan bahwa era hukum lingkungan laut yang bersifat lintas batas kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan perkembangan hukum lingkungan modern te;ah terjadi. Namun demikian perkembangan hukum lingkungan di Indonesia yang bersifat menyeluruh baru terjadi setelah peristiwa kandasnya kapal tangki minyak showa maru di Selat Malaka/Singapura pada tahun 1975. Sebagaimana diketahui bahwa peristiwa ini telah mendorong terbentuknya Rancangan Undang-undang Lingkungan Hidup Indonesia pada tahun 1976. Dengan terbentuknya kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Sekarang Menteri KLH, gerakan kesadaran lingkungan dan upaya menyusun rancangan Undang-undang Lingkungan Hidup oleh kantor ini terbentuk pada tahun 1979. Rancangan UULH ini kemudian disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup, berdasarkan Pasal 4 huruf e diatur dampak lingkungan yang bersifat lintas batas nasional yang berbunyi “Terlindunginya Negara terhadap dampak kegiatan diluar wilayah Negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan”. Kemudian UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif memuat ketentuan hukum yang bersifat lintas batas nasional berdasarkan konvensi hukum laut baru, yang juga telah diratifikasi Indonesia sebagaimana diutarakan diatas, pada perkembangan teraktual hukum lingkungan Indonesia setelah Setelah konferensi Stockholm 1972, Indonesia pun seperti Negara-negara lain, baru bangkit Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan…..p. 8-9. Juni 2018 [WACANA HUKUM JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI] Arifin Ma’ruf Aspek-aspek Hukum Mengenai Lingkungan Hidup...... memperhatikan lingkungan. Undang-Undang tentang ketentuan pokok pengelolaan lingkungan tercipta pada tahun 1982, yaitu UU No 4 tahun 1982, yang sekarang telah diubah dengan UU No 23 tahun 1997. Dicabutnya UU No. 4 Tahun 1982 dan digantikan UU No. 23 tahun 1997, pengaturan yang sifatnya menjangkau lintasbatas nasional diatur dalam Pasal 4 huruf f UU No. 23 Tahun 1997, yang berbunyi “Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan diluar wilayah Negara yang menyebabkan pencemarn dan/atau perusakan lingkungan hidup”. Dan Kemudian yang terahir terbit dan telah disahkan UU No. 23 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang ini sebagai penyempurna sekaligus menggantikan dan mencabut UU No. 23 Tahun 1997, dan dalam ketentuan peralihan Pasal 125 UU No. 23 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”. Namun aturan aturan pelaksana dari pelaksanaan dari Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tetap berlaku hal ini sesuai dengan ketentuan pasal Pasal 124 UU No. 23 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang berbunyi “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699 dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini”. Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup di Indonesia Menjadikan lingkungan yang bersih, tidak rusak dan tidak ada pencemaran merupakan bentuk pelestarian terhadap lingkungan, namun perusakan dan pencemaran lingkungan menjadi salah satu ancaman yang serius bagi kelestarian pencemaran dipakai untuk menerjemahkan kata dalam bahasa inggris “Pollution” yang digunakan untuk menggambarkan keadaan yang lebih berat dari sekedar pengotoran belaka. Muhammad Erwin menjelaskan bahwa secara mendasar di dalam pencemaran itu terkandung perpaduan makna dari Berdasarkan Pasal 1 ayat 12 UU No 23 Tahun 1997 yang di ubah dengan UU No. 23 Tahun 2009, yang dimaksud pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkanya mahluk hidup, zat atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukanya. Sedangkan Berdasarkan Pasal 1 ayat 14 UU No. 23 Tahun 2009 Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energy dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Muhammad Erwin, 2011, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Bandung Refika Aditama, p. 35. Mengurangi & Melemahnya Daya Penggunaanya Pencemaran Pollution Demage Juni 2018 [WACANA HUKUM JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI] Arifin Ma’ruf Aspek-aspek Hukum Mengenai Lingkungan Hidup...... Pengrusakan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 1 ayat 14 UU No 23 Tahun 1997 yang sebagaimana di ubah dengan UU No. 23 Tahun 2009, adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung maupun tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berdasarkan Pasal 1 ayat 16 UU No. 23 Tahun 2009, pengrusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Menurut Munadjat Danusaputro pencemaran dan perusakan lingkungan menimbulkan banyak sekali kerugian dan dampak buruk, kerugian dan dampak buruk tersebut terjadi dalam bentuka. Kerugian Ekonomi dan social economic and social in jury. b. Gangguan Sanitair sanitary hazart. Sedangkan Menurut Abdurrahman menjelaskan bahwa pencemaran lingkungan dapat dibagi atasa. Kronis, dimana kerusakan terjadi secara progresif tetapi lambat. b. Kejutan atau akut, kerusakan mendadak dan berat biasanya tmbul dari kecelakaan. c. Berbahaya, dengan kerugian biologis berat dalam hal ada raioaktif terjadi kerusakan genetis. d. Katasrofi, di sini kematian organisme hidup banyak dan mungkin organisme hidup itu punah. Pencemaran dan pengrusakan lingkungan tidak lagi menjadi masalah local saja, tetapi sekarang juga menjadi masalah nasional bahkan internasional. Tingkat pencemaran dan perusakan juga jauh lebih hebat karena kemajuan tekhnologi industry. Pencemaran lingkungan dapat terjadi di beberapa sector diantaranya adalah pencemaran air, pencemaran udara dan pencemaran tanah. Pencemaran Air Adanya air sangatlah dibutuhkan bagi keperluan hidup manusia dan mahluk hidup lainya yaitu tumbuh-tumbuhan maupun hewan. Air merupakan kebutuhan dasar manusia dalam kehidupannya. Di Indonesia sendiri masih warga yang tak terpenuhi kebutuhan air bersih. Akibat pencemaran air diantaranya adalah timbulnya berbagai penyakit perut, kerusakan organ tubuh akibat keracunan, penurunan oksigen terlarut di perairan berakibat kematian pada makhluk hidup di perairan, terjadinya pertumbuhan berlebih alga nitrat dan fosfat berakibat adanya eutrofikasi, masuknya racun ke dalam sistem perairan dapat berakumulasi pada makhluk hidup di perairan, kematian makhluk hidup di perairan dan lain-lain. Hasil survei Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan, kondisi pencemaran air di Indonesia telah meningkat hingga 30 persen. Angka tersebut didapat dari pemantauan terhadap 52 sungai di Tanah Air mulai dari 2006 sampai 2011. Pemantauan kualitas air sungai di 33 provinsi Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup Pasal 1 ayat 12 dan 14. St. Munadajat Danusaputro, 1986, Hukum Lingkungan dan Pencemaran Lingkungan Melandasi Sistem Hukum Pencemaran, Buku VSektoral, Bandung Bina Cipta, , p. 35. Abdurrahman, 2008, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Bandung PT Citra Aditya Bakti, p. 99. Air sebagai sumber daya alam mempunyai arti dan fungsi yang sangat penting dan vitalbagi umat manusia dan mahluk hidup lainya karena tiada kehidupan tanpa adanya airH2O, sedangkan air dibumi ± Km3, yang terdiri dari air asin ± 97,25% Km3, air permukaan 1% Km3, air tanah 23,965% Km3 dan air salju atau ES 75% Km3. Lihat Moh. Soerjani, Rofiq Ahmad dan Rozy Munir, 1987, Lingkungan, Sumber Daya Alam dan Kependudukan Dalam Pembangunan, Jakarta UI Press, p. 60. Di Indonesia, pemenuhan air minum untuk penduduknya di tahun 2011 masih kurang. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pemenuhan air minum aman baru 55,04 persen dan masih 80 juta masyarakat yang belum terpenuhi kebutuhan air minumnya. Kondisi tersebut akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan pendudukan kita. di Indonesia akses masyarakat terhadap layanan sanitasi yang layak baru mencapai 55, 60 persen menuju target 62, 41 persen MDGs. Indonesia juga terus berupaya mengejar ketertinggalan di sektor air minum, Badan Perserikatan Bangsa‐Bangsa PBB mencatat, setidaknya ada 780 juta orang di dunia yang tidak memiliki akses terhadap air bersih Juni 2018 [WACANA HUKUM JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI] Arifin Ma’ruf Aspek-aspek Hukum Mengenai Lingkungan Hidup...... dengan memanfaatkan dana dekonsentrasi telah dilaksanakan sejak tahun 2008 secara terintegrasi dalam skala nasional. Selama kurun waktu 2008-2013 telah terkumpul data kualitas air sungai di hampir 57 sungai lintas provinsi, negara dan sungai strategis Nasional dari 33 provinsi. Data hasil pemantauan tersebut disimpulkan bahwa sekitar 70 – 75% sungai yang dipantau telah tercemar baik tercemar ringan, sedang maupun tercemar berat. Polutan dominan yang mencemari sungai adalah berasal dari sumber-sumber pencemaran limbah domestik limbah yang berasal dari rumah tangga. Informasi ini akan menjadi prioritas KLH dalam menangani dan arah pengelolaan kualitas air yang Udara Sama halnya dengan air adanya udara sangatlah dibutuhkan bagi keperluan hidup manusia yang memerlukan oksigen O2. dan mahluk hidup lainya yaitu tumbuh-tumbuhan yang memerlukan karbon dioksida Co2 maupun hewan yang memerlukan oksigen O2. Akibat pencemaran udara diantaranya adalah gangguan visibilitas, gangguan psikologis akibat kebisingan, timbulnya penyakit-penyakit pada alat pernafasan, penurunan produktivitas tumbuhan dan hewan akibat hujan asam, kerusakan pada bangunan akibat hujan asam dan lain-lain. Penyebab dan dampak pencemaran udara yang paling utama selalu terkait dengan manusia. Manusia menjadi penyebab utama dan terbesar terjadinya pencemaran udara. Manusia pula yang merasakan dampak terburuk dari terjadinya pencemaran udara. Masuknya polutan ke dalam atmosfer yang menjadikan terjadinya pencemaran udara bisa disebabkan dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Penyebab pencemaran udara dari faktor alam contohnya adalah aktifitas gunung berapi yang mengeluarkan abu dan gas vulkanik, kebakaran hutan, dan kegiatan mikroorganisme. Polutan yang dihasilkan biasanya berupa asap, debu, dan gas. Udara yang tercemar akibatnya menyerupai air yang tercemar yakni tidak mengenal batas kecamatan, daerah maupun provinsi, misalnya dapat dilihat di kawasan hutan di Skandinavia dan beberapa Negara tropis telah rusak, daun-daunnya rontok dan sebagainya akibat udara atmosfer yang hampir 2,5 miliar tidak memiliki akses terhadap sanitasi yang memadai. Belum lagi kenyataan enam hingga delapan juta orang meninggal setiap tahunnya akibat bencana dan penyakit terkait air. Lihat Diakses Pada Tanggal 10 Juli 2015, Pada Pukul 1105. Dampak tidak kalah merugikan dari pencemaran air adalah terganggunya lingkungan hidup, ekosistem, dan keanekaragaman hayati. Air yang tercemar dapat mematikan berbagai organisme yang hidup di air. Asian Development Bank 2008 pernah menyebutkan pencemaran air di Indonesia menimbulkan kerugian Rp 45 triliun per tahun. Biaya yang akibat pencemaran air ini mencakup biaya kesehatan, biaya penyediaan air bersih, hilangnya waktu produktif, citra buruk pariwisata, dan tingginya angka kematian bayi. Lihat Diakses Pada Tanggal 10 Juli 2015, Pada Pukul 1108. Lihat Juga Diakses Pada Tanggal 10 Juli 2015, Pada Pukul 1145. Pencemaran udara merupakan salah satu kerusakan lingkungan, berupa penurunan kualitas udara karena masuknya unsur-unsur berbahaya ke dalam udara atau atmosfer bumi. Unsur-unsur berbahaya yang masuk ke dalam atmosfer tersebut bisa berupa karbon monoksida CO, Nitrogen dioksida No2, chlorofluorocarbon CFC, sulfur dioksida So2, Hidrokarbon HC, Benda Partikulat, Timah Pb, dan Carbon Diaoksida CO2. Unsur-unsur tersebut bisa disebut juga sebagai polutan atau jenis-jenis bahan pencemar udara. Lihat diakses pada tanggal 10 Juli 2015 Pukul 1020. Bumi yang kini semakin panas akibat pelbagai aktifitas industry, pembakaran batubara, perombakan atau penggundulan hutan yang tidak terkendali deforestation, penggunaan aerosol yang berlebihan dan akibat-akibat dar sumber pencemaran lainya dapat merusak ozon yang akan merusak dan menimbulkan bahaya bagi kehidupan mahluk dan tata lingkungan dipermukaan bumi, timbulnya lubang pada ozo merupakan ancaman yan serius bagi manusia dan seluruh mahluk di bumi ini. Serta panas yang semkin memuncak akan mengakibatkan permukaan laut naik sampai sekitar tiga meter mencairnya gunung-gunung es di kutub utara menjelang tahun 2100 nanti. Lihat John Salindeho, 1987, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta Sinar Grafika, p. 193-194. Juni 2018 [WACANA HUKUM JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI] Arifin Ma’ruf Aspek-aspek Hukum Mengenai Lingkungan Hidup...... Pencemaran Tanah Pencemaran tanah merupakan keadaan di mana materi fisik, kimia, maupun biologis masuk dan merubah alami lingkungan tanah. Akibat pencemaran tanah adalah terjadinya kerusakan struktur tanah, penurunan produktivitas tumbuhan, kematian tumbuhan dan hewan, gangguan keindahan, tidak sedap dipandang, tempat vektor penyakit lalat, tikus dan lain-lain. Pencemaran dapat terjadi karena kegiatan rutin manusia maupun akibat keceroban, seperti kebocoran limbah cair atau bahan kimia industri atau fasilitas komersial; penggunaan pestisida; masuknya air permukaan yang tercemar dalam lapisan sub-permukaan; kecelakaan armada pengangkut minyak, zat kimia, atau limbah; air limbah dari tempat penimbunan sampah serta limbah industri yang langsung dibuang ke tanah secara tidak memenuhi syarat illegal dumping. Pencemaran tanah dapat terjadi melalui bermacam macam akibat ada yang langsung maupun yang secara tidak langsung tertuangnya zat-zat kimia seperti pestisida maupun insektsida ataupun detergen. Bahan-bahan kimia termasuk pestisida dan berbagai bentuk detergen disamping bermanfaat apabila dipergunakan secara berlebihan akan menimbulkan berbagai bentuk pencemaran terhadap lingkungan termasuk tanah. Pernah diungkap bahwa akibat pemakaian Herbicida 2,4,5,T dan 2,4 D untuk menggundulkan hutan-hutan di amerika latin bagi penanaman rumput ternak, Herbicida 2,4,5,T meninggalkan residu dioxin pada taah dan air, Dioxin merupakan salah satu racun yang sangat mematikan yang pernah dibuat, dapat mengakibatkan cacat lahir, kerusakan kerusakan kulit, dan keguguran kandungan. Sedangkan pencemaran yang tidak langsung terjadi akibat dikotori oleh minyak bumi, seiring juga karena persawahan dan kolam-kolam ikan yang tercemar oleh buangan minyak, bahkan pulasuatu lahan yang berlebihan yang dikotori oleh zat-zat Mencegah Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup di Indonesia Lingkungan hidup yang terganggu keseimbangannya perlu dikembalikan fungsinya sebagai kehidupan dan memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan keadilan antargenerasi dengan cara meningkatkan pembinaan dan penegakan hukum. Dalam bahasa hukumnya pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia, dan dalam mewujudkan itu semua perlu adanya optimalisasi penegakan hukum lingkungan di hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap perturan yang berlaku, yang meliputi tiga bidang hukum, yaitu administrative, pidana, dan perdata. Dengan demikian, penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan atau ancaman sarana administrative, kepidanaan, dan keperdataan. Penyelesaian masalah yang timbul dalam kasus lingkungan dapat dilakukan melalui pengadilan maupun luar pengadilan. Khusus untuk penyelesaian sengketa melalui pengadilan, maka tetap mengacu pada ketiga pendekatan instrument, yaitu hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata, ketiga pendekatan tersebut merupakan instrument utama dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia penegakan hukum lingkungan melibatkan berbagai instansi pemerintah sekaligus, seperti polisi, jaksa, pemerintah daerah, pemerintah pusat terutama Departemen Perdagangan, Departemen Kehutanan, dan Departemen pekerjaan umum, Kantor David Weir dan Marc Scarpiro, 1985, Lingkaran Racun Pestisida, Jakarta Sinar Harapan, p. 35. Ibid, Supriadi, 2008, Hukum Lingkungan Indonesia, Sebuah Pengantar Jakarta Sinar Grafika, , p. 4-5. Juni 2018 [WACANA HUKUM JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI] Arifin Ma’ruf Aspek-aspek Hukum Mengenai Lingkungan Hidup...... Menteri Negara Lingkungan Hidup, Laboraturium Kriminal, bahkan swasta seperti LSM lembaga swadaya masyarakat, dan Administrasi Hukum administrasi sebagai sarana administrasi dapat bersifat preventif dan bertujuan untuk menegakkan peraturan perundang-undangan lingkungan misalnya UU,PP,Keputusan Menteri Perindustrian, Keputusan Gubernur, Keputusan Walikota, dan sebagainya. Penegakan Hukum Law Enforcement dapat diterapkan terhadap kegiatan yang menyangkut persyaratan perizinan, baku mutu lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan RKL dan sebagainya. Disamping pembinaan berupa petunjuk dan panduan serta pengawasan administrasi kepada pengusaha dibidang industry hendaknya juga ditanamkan manfaat Konsep “Pollution Prevention Pays” dalam proses produksinya. dan juga pembangunan berwawasan lingkungan berkelanjutan, pembangunan yang dimaksud adalah pola kebijaksanaan pembangunan yang tidak mengganggu keseimbangan ekosistem yakni pembangunan yang berorientasi kepada pengelolaaan sumber daya alam sekaligus mengupayakan perlindungan dan pengembangannya. Ketentuan mengenai sanksi administrative diatur dalam ketentuan Pasal 71 sampai Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2009. Sanksi Administrtif mempunyai fungsi instrumental, yaitu pengendalian perbuatan terlarang, disamping itu sanksi administrative terutama ditujukan pada perlindungan kepentingan yang dijaga terhadap ketentuan yang dilanggar tersebut. Beberapa jenis sanksi administrative diantaranyaa Paksaan pemerintah atau tindakan paksa Bestuursdwang; b Uang Paksa Publiekrechtelijke dwangsom; c Penutupan tempat usaha Sluiting van een inrichting; d Penghentian kegiatan mesin perusahaan Buitenggebruikstelling van een toestel; e Pencabutan izin melalui proses teguran , paksaan pemerintah, penutupan dan uang paksa. Hukum Pidana Delik lingkungan yang diatur dalam Pasal 41,42,43,45,46,47 UUPLH adalah delik material yang menyangkutpenyiapan alat-alat bukti serta penentuan hubungan kausalantara perbuatan pencemar dan tercemar, dalam UUPLH yang baru yaitu UU No. 23 Tahun 2009, ketentuan pidana terdapat didalam Pasal 97 sampai pasal 120. Dalam penidakan tindak pidana lingkungan Pengertian penegakan hukum dalam terminologi bahasa Indonesia selalu mengarah pada kepada Force, sehingga timbulkesan dimasyarakat bahwa penegakan hukum bersangkut paut dengan sanksi pidana. Hal ini berkaitan pula dengan seringnya masyarakat menyebut penegak hukum itu polisi, jaksa, dan hakim. padahal, pejabat administrasi birokrasi sebenarnya juga bertindak selaku penegak hukum. penegakan hukum yang dilakukan yang dilakukan oleh birokrasi pejabat administrasi berupa penegakan yang bersifat pencegahan, preventif yang dilakukan dengan melakukan penyuluhan atau sosiaalisasi suatu peraturan perundan-undangan, baik peraturan perundang-undangan yang berasal dari pusat maupun peraturan yang dibuat di daerah. Penegakan hukum merupakan suatu proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hokum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya., Lihat Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan …. p. 8-9. Siti Sundari Rangkuti, 1996, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya Airlangga University Press, p. 192. Lihat Juga Muhammad Erwin, 2011, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Bandung Refika Aditama, p. 117-118. Ibid, Juni 2018 [WACANA HUKUM JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI] Arifin Ma’ruf Aspek-aspek Hukum Mengenai Lingkungan Hidup...... maka tatacara penindakanya tunduk pada UU No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana KUHAP, peran penyidik juga sangat penting untuk mengumpulkan alat bukti yang seringkali bersifat Perdata Gugatan ganti kerugin dan biaya pemulihan lingkungan secara perdata dapat dilakukan berdasarkan pasal 20 ayat 1 dan ayat 3 UULH melalui jalur pengadilan. Namun mengenai hukum perdata ini maka perlu dibedakan antara penerapan hukum oleh instansi yang berwenang danmelaksanakan kebijakan lingkungan dan penerapan hukum perdata untuk memaksakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan proses penegakan hukum lingkungan dapat berjalan optimal, maka perlu dilakukan exit strategy sebagai solusi penting yang harus diambil pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan hidup. Pertama, mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Kedua, adanya sanksi yang memadai enforceability bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan. Ketiga, adanya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan. Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sudah saatnya penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan dioptimalkan dan diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan Integral Sebagai Upaya Mencegah Kerusakan Lingkungan di Indonesia dan Upaya Memberantas Perusak/Pencemar Lingkungan Hidup di Indonesia Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan terhadap perusakan lingkungan hidup di Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat social defence dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat social welfare. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik criminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. menjelaskan bahwa politik criminal dapat dikaitkan dengan tindakan tindakan1 Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana; 2 Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat; 3 Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana; 4 Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Barda Nawawi Arief bahwa politik kriminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan suatu Ibid, Muhammad Asikin, 2003, Penegakan Hukum Lingkungan dan Pembicaraan di DPR-RI, Jakarta Yarsif Watampone, p. 37. Ibid. Ibid 2005, Kebijakan HukumPidana Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer , Yogyakarta Universitas Atmajaya Yogyakarta, p. 12. Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan ke-3, Bandung PT Citra Aditya Bakti, Juni 2018 [WACANA HUKUM JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI] Arifin Ma’ruf Aspek-aspek Hukum Mengenai Lingkungan Hidup...... bagian integral dari politik sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial. Bertolak dari skema tersebut, dapat diuraikan hal-hal pokok sebagai berikut1 Penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan “goal”, “kesejahteraan masyarakat/social welfare SW dan “perlindungan masyarakat/social defence” SD. Aspek social welfare dan social defence yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan/perlindungan masyarakat yang bersifat immaterial, terutama nilai kepercayaan, kebenaran/kejujuran/keadilan. 2 Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan “pendekatan integral”, yakni ada keseimbangan antara sarana “penal” dan “non-penal”. 3 Penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau penal law enforcement policy” yang fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap a. tahap formulasi kebijakan legislatif; b. tahap aplikasi kebijakan yudikatif/yudisial; c. tahap eksekusi kebijakan eksekutif/administratif. Dengan adanya tahap “formulasi” terhadap aturan mengenai lingkungan hidup, maka upaya penanggulangan kejahatan lingkungan hidup bukan hanya tugas aparat penegak hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum aparat legislatif; bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari “penal policy”. Karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi. Menurut Bambang Poernomo, bahwa menurut ilmu hukum pidana penanggulangan kejahatan dapat ditinjau dari dua segi yaitu a. Penanggulangan secara preventif, yaitu tindakan yang dilakukan untuk melancarkan pada saat sebelum terjadinya perbuatan melanggar hukum secara riil. Tindakan penanggulangan juga merupakan tindakan pencegahan karena dapat menggunakan bukan sarana hukum, misalnya tindakan penjagaan, membayangi, memberi isyarat dan lain-lain. b. Penanggulangan secara represif adalah tindakan petugas hukum terhadap perbuatan seseorang yang dilakukan setelah terjadinya pelanggaran hukum. Penanggulangan kejahatan ini dimulai setelah terjadinya pelanggaran hukum. Penanggulangan ini dimulai dari tindakan pengusutan dan penyidian barang bukti oleh polisi, tindakan penuntutan oleh jaksa, kemudian diteruskan pemeriksaan oleh hakim yang mengutamakan analisa dari kejadian yang berakibat melanggar mayor dasn aturan hukum minor yang bersangkutan untuk memperoleh putusan hukim konklusi dan berakhir dengan pelaksanaan M. Hamdan, penanggulangan kejahatan dapat menggunakan dua kebijakan yaitu dengan menggunakan kebijakan penal menggunakan sanksi pidana dan dengan kebijakan non-penal menggunakan sanksi administratif, sanksi perdata dan lain-lain. Sangat disayangkan bahwa Gagasan M. Hamdan berkaitan kebijakan non-penal mengunakan sanksi administratif, sanksi perdata tidak dijelaskan lebih renci. Berbeda dengan Barda Nawawi Arief dan Bambang Poernomo yang menegaskan bahwa kebijakan non-penal dalam penanggulangan kejahatan adalah melakukan langkah-langkah preventif sebelum terjadi tindak kejahatan. Dalam rangka penegakan hukum lingkungan sebagai upaya mencegah terjadinya kerusakan lingkungan di Indonesia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya adalahBarda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta Kencana Predana Media Group, p. 77-78. Ibid., p. 39. Bambang Poernomo, 1998, Orientasi Hukum Acara Pidana, Yogyakarta Amastata Buku, p. 90. M. Hamdan, 1996, Politik Hukum Pidana, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta, Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan Dalam Sistem ….. p. 121-122. Juni 2018 [WACANA HUKUM JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI] Arifin Ma’ruf Aspek-aspek Hukum Mengenai Lingkungan Hidup...... a. Penanganan masalah lingkungan saat ini seharusnya ditempatkan menjadi bagian dari proses reformasi sistem hukum, dimana didalamnya diperlukan, tidak hanya penyempunaan perangkat ketentuan perundangan, tetapi juga kemampuan lembaga peradilan dalam menyerap nilai-nilai hukum yang berkembang didalam masyarakat. b. Penanganan masaah lingkungan tidak hanya didekati dari sisi penerapan sanksi pidana ataupun perdata tetapi juga perlu dilakukan secara akumulatf dengan sanksi administrasi, sebab pada kenyataanya standar pelanggaran hukum atau kejahatan lingkungan selalu berngkat dari adanya tindakn administrative, baik itu perizinan maupun penerapan baku mutu lingkungan. c. Pihak kepolisian hendaknya mengembangkan mengembangkan model-model penataan selain pidana, terutama pendayagunaan informasi sebagai sarana insentif dan disinsentif terhadap siapapun yang melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan. d. Pihak peradilan perlu menerapkan asas strict liability dan polluters payment kepada pihak-pihak yang melakukan pencemaran dan perusakan sumber daya alam. e. Peran serta dalam pengelolaan lingkungan hidup meliputi peran individu sebagai pihak yang dikenai peraturan dan peran serta kelompok dan organisasi kemasyarakatan lainya. f. Anggota masyarakat diharapkan senantiasa berperan serta secara aktif didalamnya, misalnya melaporkan kepada aparat yang berwenang atas tindakan pelanggaran hukum lingkungan, dan upaya menyembunyikan identitas pelapor untuk melindungi saksi pelapor. Pembangunan yang dilakukan tentu diharapkan dapat emberikan manfaat berupa keadaan yang menguntungkannamun disisi lain kita juga berhadapan dengan resiko ingkungan Environmental Risk atau suatu keadaan yang merugikan, sehingga untuk mengamankan pembangunan di bidang lingkungan hidup maka hendaknya dilakukan secara sungguh-sungguh sejak tahap perencanaan, pelaksanaan sampai tahap penilaian, dan juga aspek penegakan hukum menjadi sangat penting sebagai upaya untuk melawan perusak/pencemar lingkungan di Menjadikan lingkungan hidup yang bersih, tidak rusak serta tidak tercemar merupakan salah satu bentuk pelestarian terhadap lingkungan, namun pengrusakan dan pencemaran lingkungan menjadi salah satu ancaman yang serius bagi kelestarian lingkungan hidup di Indonesia. Ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Pada kenyataanya pelaksanaan dari pasal tersebut belum bisa dilaksanakan secara maksimal. Penggunaan bumi dan air dan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat di Indonesia belum berjalan secara baik, hal ini diakibatkan oleh semakin maraknya pencemaran lingkungan yang marak terjadi Indonesia, baik pencemaran air, pencemaran udara maupun pencemaran tanah. Lingkungan hidup yang terganggu keseimbangannya perlu dikembalikan fungsinya sebagai pemberi kehidupan dan pemberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan keadilan antargenerasi dengan cara meningkatkan pembinaan dan penegakan hukum. Oleh karena itu perlu adanya optimalisasi penegakan hukum lingkungan dan juga menerapkan kebijakan integral sebagai upaya mencegah kerusakan lingkungan di Indonesia dan upaya memberantas perusak/pencemar lingkungan hidup di Indonesia, hal ini bertujuan untuk menjaga eksistensi alam dan bertujuan untuk menyelesaikan masalah lingkungan hidup di Indonesia khususnya yang disebabkan oleh ulah manusia. dalam hal ini penegakanya bisa melalui jalur hukum perdata, administrasi maupun hukum pidana, sehingga dapat menanggulangi serta menindak pelaku pencemaran, pengurasan, Ibid, p. 123. Juni 2018 [WACANA HUKUM JURNAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI] Arifin Ma’ruf Aspek-aspek Hukum Mengenai Lingkungan Hidup...... dan pengrusakan lingkungan dan tercipta lingkungan yang baik, sehat, indah dan nyaman bagi seluruh rakyat. REFERENCES A. Tauda, Gunawan 2012, Komisi Negara Independen Eksistensi Independen Agiencies Sebagai Cabang Kekuasaan Baru Dalam Sistem Ketatanegaraan, Genta Press, Yogyakarta. Arifin Mochtar, Zainal, 2016, Lembaga Negara Independen, Rajawali PERS, Jakarta. Arifin, Firmansyah, 2005, Lembaga Negara Dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasioanal bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Asshiddiqie, Jimly, 2010, Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Sinar Grafika, Jakarta. .2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Buana Ilmu, Jakarta .2004, Menjaga Denyut Nadi Konstitusi Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta. Budiardjo, Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta. E. Hall, Daniel, 1997, Constitutional Law Case and Commentary, Delmar Publishers, United State of America. Isra, Saldi, 2010, Pergeseran Fungsi Legislatif Menguatnya model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. Iver, Mac, 1965, The Web of Goverent, Mac Millan Co, New York. Indra, Mexsasai, 2011, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Refika Aditama, Bandung. Juanda, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Jakarta. Kusnardi, Moh. dan Bintan R, Saragih, 2000, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta. Mahfud, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta. Manan, Bagir, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Mandar Maju, Bandung. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Meny, Yves and Andrew Knapp, 1998, Government and Politic in Western Europe Britain, France, Italy, Germany, Oxford University Press, Oxford. Jimly Asshiddiqie, 2010, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta. Natabaya, “Lembaga tinggi Negara Menurut UUD 1945”, dalam Refly Harun, dkk , 2004, Menjaga Denyut Konstitusi, Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta. Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi, 1997, Metedologi Penelitian, Bumi Pustaka, Jakarta. Ramadani, Rizki, 2015, Hukum dalam Bunga Rampai Pemikiran, Genta Press,Yogyakarta. Raisul, Muttaqien, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, 2006, Nusamedia dan Penerbit Nuansa, Bandung. Sukanto, Soerjono, 1970, Sosiologi Suatu Pengantar, UI Press, Jakarta. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soemantri, Sri, 1984, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Rajawali, Jakarta. ... But back again to human nature which is never satisfied, that technological or industrial developments do not always have a good impact on the development of human life, but can also cause a number of damage to the ecosystem of the human environment, for example the progress of transportation. [1] Then the other factor is that Indonesia is a country that is vulnerable to climate change which results in damage and availability of water, this factor is usually referred to as a natural factor homeostasis [2] So that the estuary of environmental pollution is due to a development that does not consider the environmental capability factor. Therefore, it will have an impact on pollution. ...Syahriati FakhriahDea Justicia ArdhaFebrina Hertika RaniThe rise of pollution and environmental destruction due to human actions in the environment utilizing and even intentionally polluting or destroying the environment in people's lives. When a default occurs, companies as legal subjects are responsible for paying costs and interest in addition to compensation. They are also responsible for paying compensation if they conduct an illegal act.. The issue in this research How The Responsibility Of Compesation Charge In Environmental Pollution For Consolidated Actor Companies. The purpose of this study is to find out the form of responsibility of Compesation Charge in Environmental Pollution for Consolidated Actor Companies. The method used is author's consideration of this issue leads to the conclusion that the special provisions of Article 122 of Law Number 40 of 2007 addressing Limited Liability Companies supersede the provisions of Article 87 paragraph 2, which are now general provisions. Therefore, Lex specialis derogat legi generali—the rule that special provisions take precedence over general laws—applies in this situation. As a result, the provisions of Article 122 of Law Number 40 of 2007 regarding Limited Liability Companies supersede those of Article 87 paragraph 2 of Law Number 32 of 2009 regarding Environmental Protection and Hukum Pidana, PT Radja Grafindo PersadaM HamdanM. Hamdan, 1996, Politik Hukum Pidana, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta, Lingkungan Dalam Sistem …Muhammad ErwinMuhammad Erwin, Hukum Lingkungan Dalam Sistem ….. p. Hukum Tata Negara Indonesia Pasca ReformasiJimly AsshiddiqiePerkembangan Dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca ReformasiJakarta Sinar GrafikaAsshiddiqie, Jimly, 2010, Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Sinar Grafika, Jakarta. .2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Buana Ilmu, Jakarta .2004, Menjaga Denyut Nadi Konstitusi Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta. Budiardjo, Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Law Case and CommentaryDaniel HallHall, Daniel, 1997, Constitutional Law Case and Commentary, Delmar Publishers, United State of Fungsi Legislatif Menguatnya model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial IndonesiaIsraSaldiIsra, Saldi, 2010, Pergeseran Fungsi Legislatif Menguatnya model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pers, Hukum Tata Negara Pasca Amandemen KonstitusiMoh MahfudMdMahfud, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers, dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Mandar MajuBagir MananManan, Bagir, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Mandar Maju, Bandung. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, and Politic in Western EuropeYves MenyAndrew KnappMeny, Yves and Andrew Knapp, 1998, Government and Politic in Western Europe Britain, France, Italy, Germany, Oxford University Press, dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar GrafikaJimly Asshiddiqie, 2010, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika, tinggi Negara Menurut UUD 1945H A NatabayaNatabaya, "Lembaga tinggi Negara Menurut UUD 1945", dalam Refly Harun, dkk, 2004, Menjaga Denyut Konstitusi, Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta.

Berikutpernyataan yang bukan merupakan pelestarian makhluk hidup adalah? Pembuatan cagar alam dan suaka margasatwa; Perburuan dan penebangan liar; Pengembangbiakan hewan dan tumbuhan; Perlindungan hewan dan tumbuhan dari kepunahan; Semua jawaban benar; Jawaban: B. Perburuan dan penebangan liar
To ensure environmental sustainability, environmental management must be supported by the enforcement of environmental law through litigation process, whether on criminal, civil, or administrative aspects. In Indonesia, there are numerous cases of environmental losses, as well as examples of environmental damage that have been attempted on the court of mandalawangi, natural kallista and sungailiat cases. The purpose of this research is to find out the extent of court decisions’s consistencies on environmental cases Using normative legal research method, this research examined three court decisions form two different types of court, which are criminal court Sungai Liat case and civil court Mandalawangi case and Kalistas case. It was found that these judicial decisions show inconsistencies. This condition may weaken the enforcement of environmental law in Indonesia. On the other hand, this difference in judgments may be apprehended as a new standpoint of environmental law in Indonesia. Keberlangsungan pengelolaan lingkungan hidup harus ditunjang dengan penegakan hukum lingkungan, baik melalui jalur peradilan maupun luar peradilan, baik yang bersifat perdata, pidana, maupun administrasi. Penelitian ini mengkaji tiga kasus lingkungan hidup yang diselesaikan melalui peradilan pidana dan perdata, yaitu Kasus Mandalawangi, Kasus Kallista Alam dan Kasus Sungailiat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui problematika penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia, dan untuk mengetahui dampak dari konsistensi putusan hakim dalam perkara lingkungan di Indonesia yang berbeda-beda. Untuk mencapai tujuan tersebut, ketiga putusan hakim tersebut di atas dikaji dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitin menunjukkan bahwa ketiga kasus tersebut diputuskan secara berbeda. Inkonsistensi tersebut dapat menjadi faktor pelemahan penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Namun di samping itu dapat dimaknai sebagai suatu pandangan baru terhadap ketentuan lingkungan hidup di Indonesia. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan – ISSN 1978-8312 p, 2657-2125 e Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi KONSISTENSI PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERKARA KERUGIAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Sri Wahyuni1, Arum Nur Rahmawati2, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika4, Sapto Hermawan5 1, 2, 3, 4,5Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Indonesia Corresponding Author swyuni Abstract To ensure enviromental sustainability, environmental management must be supported by the enforcement of environmental law through litigation process, whether on criminal, civil, or administrative aspect. In Indonesia, there are numerous cases of environmental losses, as well as examples of environmental damage that have been attempted on the court of mandalawangi, natural kallista and sungailiat cases. The purpose of this research is to find out the extent of court decisions’s concistencies on environmental cases Using normative legal research method, this research examined three court decisions form two different types of court, which are criminal court Sungai Liat case and civil court Mandalawangi case and Kalistas case. It was found that these judicial decisions show inconsistencies. This condition may weaken the enforcement of environmental law in Indonesia. On the other hand, this difference in judgments may be apprehended as a new standpoint of environmental law in Indonesia. Keywords environmental damages, judgement consistency, environmental sentence Abstrak Keberlangsungan pengelolaan lingkungan hidup harus ditunjang dengan penegakan hukum lingkungan, baik melalui jalur peradilan maupun luar peradilan, baik yang bersifat perdata, pidana, maupun administrasi. Penelitian ini mengkaji tiga kasus lingkungan hidup yang diselesaikan melalui peradilan pidana dan perdata, yaitu Kasus Mandalawangi, Kasus Kallista Alam dan Kasus Sungailiat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui problematika penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia, dan untuk mengetahui dampak dari konsistensi putusan hakim dalam perkara lingkungan di Indonesia yang berbeda-beda. Untuk mencapai tujuan tersebut, ketiga putusan hakim tersebut di atas dikaji dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitin menunjukkan bahwa ketiga kasus tersebut diputuskan secara berbeda. Inkonsistensi tersebut dapat menjadi faktor pelemahan penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Namun di samping itu dapat dimaknai sebagai suatu pandangan baru terhadap ketentuan lingkungan hidup di Indonesia. Kata-kata Kunci kerugian lingkungan hidup; konsistensi putusan hakim; putusan perkara lingkungan hidup. Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 82 Pendahuluan Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan sistem kenegaraan, Pemerintah Indonesia memiliki peran penting dalam melaksanakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, memiliki kewenangan dalam membuat norma hukum dan peraturan mengenai pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, yang diharapkan dapat menyelaraskan, menyerasikan, dan menyeimbangkan antara kehidupan manusia dan lingkungannya. Namun seiring dengan ber-jalannya waktu, pemanfaatan lingkungan hidup menimbulkan berbagai masalah. Manusia menjadi pihak yang memiliki andil besar dalam kerusakan lingkungan. Manusia yang terus berkembang serta didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi sering melakukan pembangunan tanpa memperhatikan aspek kese-imbangan lingkungan dan lebih mementingkan aspek ekonomi, yang mana dapat menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Pada da-sarnya hakekat suatu lingkungan hidup adalah kehidupan yang melingkupi tata dan nilai-nilai kehidupan di dalamnya. Dalam hal ini mencakup tata dan nilai untuk menjaga keberlanjutan lingkungan hidup, sumber daya alam dan keadilan sosial bagi kehidupan manusia atas hak atas lingkungan yang sehat. Lingkungan hidup harus dipandang dan diperlakukan sebagai subyek, dikelola untuk ke-hidupan berkelanjutan bukan hanya untuk pertumbuhan dalam pengelolaan lingkungan hidup ini dapat terjadi akibat lemahnya pengawasan terhadap pengelolaan lingkungan sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan hidup dapat mengakibatkan perubahan sifat-sifat dan unsur-unsur dari lingkungan yang berakibat pada peran dan arti penting lingkungan hidup bagi kehidupan menjadi terganggu, bahkan tidak berfungsi lagi dan akan menimbulkan kerusakan lingkungan lingkungan hidup merupakan kerugian yang timbul akibat pencemaran atau perbuatan perusakan lingkungan sekitar yang dilakukan yang berkaitan dengan hak milik publik sehingga mengganggu kelangsungan hidup makhluk hidup disekitarnya. Jika dilihat saat ini, kondisi lingkungan hidup “Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Ten-tang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup” 2009. Sapto Hermawan, Wida Astuti, “Penggunaan Penta Helix Model Sebagai Upaya Integratif Memerangi Sampah Plastik di Laut Indonesia,” Bina Hukum Lingkungan 5, No. 2 2021 237–261, Muhammad Amin Hamid, “Hidup Dalam Menanggulangi” 6 88–117. Sutiyanti Juanda, “Representasi Kerusakan Lingkungan Di Indonesia Dalam Puisi Media Daring Indonesia Kajian Ekokritik,” 3, no. 2 2016 98–107. ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi 83 sungguh sangat memprihatinkan, bahkan telah membahayakan hidup serta kehidupan makhluk hidup untuk generasi masa sekarang dan yang akan datang. Terkait dengan berbagai kasus mengenai kerugian lingkungan yang terjadi maka perlu menjamin kepastian hukum lingkungan sebagai upaya penegakan hukum guna menanggulangi permasalahan lingkungan hidup, hal ini dapat dil-akukan melalui pengawasan dan penerapan secara administrasi, keperdataan, dan kepidanaan agar dapat menimbulkan kepatuhan terhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku. Aturan perundang-undangan secara menyeluruh digunakan sebagai penunjang penegakan hukum, dan sangat terikat dengan kualitas penegak hukum. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjelaskan terdapat 3 tiga cara sistematis dalam penegakan hukum, yaitu dapat dilakukan penegakan hukum secara administratif, melalui pengadilan dan penyidikan atas tindak pidana yang dikhususkan dalam lingkup lingkungan hidup atau penyelesaian suatu kasus atau sengketa di luar pengadilan. Namun penegakannya masih menghadapi problematika, sehingga membutuhkan perhatian lebih demi menjaga keadaan lingkungan yang merupakan sumber utama keberlangsungan hidup manusia. Jika usaha yang dilakukan di luar pengadilan tidak berhasil maka dapat dilakukan dengan jalur pengadilan. Penyelesaian konflik di pengadilan memerlukan konsistensi putusan hakim, karena inkonsistensi putusan dapat menjadi suatu alasan melemahnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Beberapa literatur telah membahas mengenai putusan pengadilan kasus lingkungan, diantaranya yaitu artikel yang ditulis oleh Anindita, mengupas tentang besaran ganti kerugian untuk perkara lingkungan yang lebih adil dan proporsional. Dalam kesimpulan artikel tersebut, penulis mendorong kuat dibentuknya peradilan khusus yang membahas isu lingkungan hidup. Kajian berikutnya dikemukakan oleh Parlina, di mana dalam artikelnya menjelaskan urgensi gugatan kelompok atau gugatan warga negara dalam perkara Mandalawangi. Berikutnya yaitu hasil riset Imamulhadi yang menjelaskan pentingnya putusan hakim yang memihak terhadap upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan. Namun demikian, artikel-artikel tersebut belum meng-analisis secara khusus perkara-perkara yang dijadikan objek penulisan. Untuk itu, tulisan ini ditujukan untuk mendalami konsistensi putusan-putusan hakim Ibid, Sri Laksmi Anindita, “Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup,” Jurnal Hukum Acara Perdata 3, No. 2 2017 331-350. Nurasti Parlina, “Penerapan Class Action di Indonesia Studi Kasus Putusan Nomor 1794 K/PDT/2004,” Jurnal Poros Hukum Padjadjaran 2, No. 2 2021 237-252. Imamulhadi, “Perkembangan Prinsip Strict Liability dan Precautionary dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Pengadilan,” Mimbar Hukum 25, No. 3 2013 417-432. Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 84 atas perkara-perkara landmark kerusakan lingkungan di beberapa tahun terakhir yaitu perkara Mandalawangi, Kalista Alam dan Sungailiat. Kasus pertama, yaitu Mandalawangi, terjadi pada tahun 2003 antara penggugat yaitu warga Kecamatan Kadunggora, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat dan ter gugat Perum Perhutani. Gugatan berbentuk class action ini dilakukan setelah terjadinya bencana longsor dan banjir yang menimbulkan kerugian cukup besar bagi warga. Tergugat dianggap secara langsung maupun tidak langsung telah mengubah sifat fisik lingkungan hutan menjadi tidak ber-fungsi sebagai mana mestinya, melakukan perubahan tata guna lahan hutan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Para tergugat berdalih bahwa longsor terjadi karena faktor bencana alam. Akan tetapi penolakan ter-sebut tidak dapat diterima mengingat tidak terpenuhinya persyaratan untuk suatu kejadian lingkungan merupakan bencana alam. Upaya hukum yang dilaku-kan sampai ke Mahkamah Agung dan menghasilkan keputusan yang meme-nangkan para penggugat yaitu warga Kecamatan Kadunggora, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Kasus kedua yaitu sengketa antara Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLKH sebagai penggugat melawan PT Kallista Alam sebagai tergugat. PT. Kallista Alam digugat atas tindakan pembakaran 1000 hektar lahan hutan di Rawa Tripa pada tahun 2012. Hasilnya, PT. Kallista Alam divonis bersalah dan diwajibkan untuk membayar ganti kerugian dan biaya pemulihan lahan. Vonis tersebut termuat dalam Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 12/ jo Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 50/PDT/2014/ jo Putusan Mahkamah Agung Nomor 651 K/PDT/2015 jo Putusan Peninjauan Kembali Nomor 1PK/PDT/2015 tertanggal 18 April 2017. Seharusnya dengan vonis tersebut, PT. Kallista Alam melaksanakan eksekusi putusan, tetapi PT. Kallista Alam menggugat balik KLKH dengan gugatan perlawanan eksekusi ke Pengadilan Negeri Meulaboh. Pengadilan Negeri Meulaboh pada tanggal 12 April 2018 membenarkan gugatan PT. Kallista Alam dan membebaskan PT. Kallista Alam dari seluruh tuntutan hukum melalui Putusan Nomor 16/ KLKH mengajukan banding terhadap putusan tersebut, dan terhadapnya dalam putusan Nomor Perkara 80/PDT-LH/2018/PT. BNA, Pengadilan Tinggi Banda Aceh membatalkan putusan Nomor Perkara 16/ yang berarti PT. Kallista Alam tetap berkewajiban melaksanakan putusan dengan membayar ganti kerugian dan biaya pemulihan lahan. Kasus yang terakhir adalah perkara Sungailiat. Pengadilan Tinggi Bangka Belitung melalui putusannya No21/Pid/2021/PT BBL, membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Sungailiat yang menghukum 6 Ketua RT yang menandatan-gani surat undangan sosialisasi rencana gugatan atas dampak bau PT BAA di Kab Bangka. Amar Putusan PT Bangka Belitung menyatakan Para Terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan akan tetapi perbuatan para ter-dakwa bukanlah merupakan tindak pidana, melepaskan Para Terdakwa dari se- ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi 85 luruh tuntutan, dan memulihkan hak para Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya. Tulisan ini berusaha menguraikan dua pokok permasalahan yaitu untuk menelusuri argumentasi yuridis yang menyebabkan putusan hakim berbeda-beda dalam perkara lingkungan Nomor 1794 K/Pdt/2004 Kasus Mandala-wangi, Nomor 16/ Mbo Kasus Kalista Alam, dan Nomor 21/Pid/2021/PT BBL Kasus Sungailiat; dan yang kedua, apakah ketidakkon-sisten hakim dalam putusan hakim dapat dimaknai sebagai pelemahan pene-gakan hukum lingkungan di Indonesia. Singkatnya, artikel ini bertujuan untuk memberikan pandangan hukum terhadap putusan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan maupun penemuan hukum. Metodologi Penelitian Artikel ini disusun menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pendekatan penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kasus dan pendekatan perundang-undangan. Sumber informasi penelitian menggunakan bahan hukum sekunder, yaitu putusan pengadilan, buku-buku hukum, artikel hukum, dan ketentuan peraturan perundangan-undangan terkait lingkungan hidup. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan analisis sub-stansi content analysis serta penarikan kesimpulan menggunakan deduksi untuk menjawab rumusan permasalahan. Hasil dan Pembahasan Dinamika Putusan Hakim dalam Perkara Lingkungan Nomor 1794 K/PDT/2004, Nomor 16/ dan Nomor 21/PID/ 2021/ Undang-Undang angka 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengel-olaan Lingkungan Hidup mendefinisikan perlindungan serta pengelolaan ling-kungan hayati sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup serta mencegah terjadinya pence-maran serta/atau kerusakan lingkungan hayati. Ruang lingkup perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut mencakup perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Pertama, perencanaan, inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion, serta penyusunan rencana perlindungan serta pengelolaan lingkungan hayati RPPLH merupakan tahap-tahap yang wajib ditempuh dalam perencanaan proteksi dan pengelolaan lingkungan hayati. Kedua, pemanfaatan sumber daya alam yg dilakukan berdasarkan RPPLH, bila RPPLH belum ada maka pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam didasarkan pada daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yg berkelanjutan. Ketiga, pengendalian ter-hadap pencemaran serta/atau kerusakan lingkungan hayati dilakukan buat Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 86 mewujudkan pelestarian fungsi lingkungan hayati dengan pencegahan, penang-gulangan serta pemulihan. Keempat, pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya alam, pencadangan asal daya alam, serta/atau pelestarian fungsi atmosfer. Kelima, pengawasan menjadi keliru satu upaya preventif pengendalian akibat lingkungan yang tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah pusat serta wilayah tetapi juga menuntut kiprah masyarakat. dan terakhir, penegakan hukum lingkungan hayati yang penyelesaian seng-ketanya mampu ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Salah satu tujuan primer proteksi serta pengelolaan lingkungan hayati ialah mencegah pen-cemaran atau perusakan lingkungan. Pencemaran serta perusakan lingkungan artinya dua hal yg tidak sama. Pencemaran lingkungan merupakan perubahan pada komponen tertentu sebab masuknya makhluk hidup, zat, tenaga dan/atau komponen lain sedangkan perusakan lingkungan adalah tindakan menyebabkan perubahan seluruh komponen lingkungan baik yg bersifat fisik, kimia dan/atau biologi. Terhadap pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hayati harus dil-akukan penegakan hukum supaya kelestarian lingkungan hidup tetap terjaga. Penegakan aturan lingkungan merupakan upaya buat mencapai ketaatan ter-hadap peraturan serta persyaratan pada ketentuan hukum lingkungan yg berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan serta penerapan sanksi admin-istrasi, gugatan perdata, dan pidana. Penegakan hukum administrasi lingkungan bersifat preventif pengawasan serta represif sanksi administrasi dalam kerangka menegakkan peraturan perundang-undangan lingkungan. Penegakan hukum lingkungan administrasi bisa diterapkan terhadap aktivitas yang melang-gar persyaratan perizinan dan peraturan perundang-undangan. selesainya pene-gakan hukum administrasi lingkungan ini tak berhasil maka upaya terakhirnya artinya penegakan hukum pidana lingkungan. Penegakan hukum lingkungan ini jua mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, serta keadilan. Kasus Mandalawangi dengan perkara Nomor 1794 K/PDT/2004 dilatar belakangi oleh kasus tanah longsor di area Hutan Mandalawangi, Garut yang dikelola oleh Perhutani. Pengaturan mengenai Perhutani sendiri diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1978 jo. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 43/KPTS/ HUM/1978 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1999 yang berisi bahwa Perhutani merupakan perusahaan milik negara yang diberi Hak Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi di Wila-yah Jawa Barat. Wilayah pengelolaan yang menjadi lingkup Perhutani dalam mengatur kawasan hutan lindung termasuk kawasan Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut Pada tahun 1999 Perhutani melaku- D I Pengadilan, “Perkembangan Prinsip Strict Liability Dan Precautionary Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Pengadilan,” Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 25, no. 3 2014 416–32, ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi 87 kan perubahan pada lahan hutan Mandalawangi yang semula merupakan kawa-san hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi terbatas, perubahan atau alih fungsi tersebut telah disetujui ditandai dengan telah dikeluarkannya kepu-tusan yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan No. 419/ yang intinya adalah merubah status hutan lindung Mandalawangi menjadi hutan produksi terbatas serta memberi wewenang pengelolaannya kepada Perhutani sehingga terjadi longsor di area hutan Mandalawangi. Akibat adanya tanah longsor tersebut masyarakat disekitar wilayah hutan Mandalawangi merasa san-gat dirugikan karena perubahan lahan tersebut dan akhirnya mengajukan guga-tannya kepada Direksi Perum Perhutani sebagai Tergugat I, Gubernur Provinsi Jawa Barat sebagai Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV masing-masing adalah Presiden Republik Indonesia dan juga Menteri Kehutanan Indonesia. Pengajuan gugatan oleh masyarakat yang mengalami kerugian atas perubahan lahan tersebut diajukan menggunakan prosedur gugatan secara perwakilan ke-lompok atau class action. Masyarakat korban longsor sebagai Penggugat men-dasarkan gugatannya atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I atau Perhutani dengan melakukan tindakan perusakan terhadap ling-kungan hutan yang diatur pada Pasal 1 butir 14 Undang- Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup jo. Pasal 48 ayat 2 Un-dang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Alasan yang memberatkan dalam perkara ini karena Tergugat I telah menyimpang dari maksud dan tujuan perusahaan, sehingga menyebabkan luas hutan di Jawa Barat berkurang dari 20% menjadi 8%. Tergugat III yang mengubah status hutan lindung Mandalawangi menjadi hutan produksi juga menyebabkan Tergugat I melakukan tindakan melanggar tujuan perusahaan yang melakukan penebangan tanpa reboisasi dan dibiarkan oleh Tergugat III. Selain itu, Kepala KPH Perhutani Garut juga menyatakan bahwa hutan yang seharusnya direboisasi justru disewakan kepada penduduk. Oleh karena itu, tindakan Penggugat I yang tidak melakukan reboisasi, menguubah hutan primer menjadi sekunder, menciptakan lahan kosong dan lahan garapan pertanian yang dimanfaatkan penduduk telah merubah fisik dan/atau fungsi hutan yang dikualifikasikan sebagai perusakan hutan. Hal ini mengakibatkan longsor di area hutan Mandalawangi dan menghancurkan pemukiman penduduk yang ternyata sudah diketahui oleh Tergugat I bahwa terdapat titik rawan longsor namun diabaikan yang menyebabkan korban jiwa dan harta benda. Sedangkan alasan yang meringankan bahwa Tergugat I telah membuat Rencana Umum Perusaha-an, Rencana Lima Tahunan Perusahaan, dan Rencana Kerja Tahunan Perusaha- Sapto Hermawan, Wida Astuti “Analysing several ASEAN countries' policy for combating marine plastic litter,” Environmental Law Review 23, No. 1 2021 9-22, Rizky Banyualam Permana, “Hukum Internasional Made In Garut? Mengkritisi Status Jus Cogens Atas Prinsip Kehati-Hatian Dalam Mandalawangi,” 2020. Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 88 an yang ketiganya merupakan wujud pembinaan di bidang perencanaan. Tergugat I juga telah berupaya menjaga kelestarian hutan dengan membuat Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan untuk jangka 10 tahun, Rencana Teknik Tahunan, dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan yang di dalamnya memuat detail rencana pengelolaan Kawasan hutan. Penutupan hutan yang dilakukan oleh Tergugat I secara mendetail juga terbatas pada tanaman pinus kelompok umur II dan III, hutan alam kayu lain dan tidak produktif. Tergugat I juga sudah melaksanakan reboisasi hektar sedangkan terciptanya lahan kosong dilakukan oleh masyarakat perambah hutan yang menyebabkan kerusakan hutan. Terkait longsor disebabkan karena intensitas hujan yang tinggi di jenis tanah merah. Pengadilan Negeri Bandung telah mengeluarkan Putusan Nomor 49/ BDG dengan amar putusannya yaitu mengabulkan guga-tan masyarakat yang mengalami kerugian dengan prosedur perwakilan ke-lompok atau class action; menyatakan bahwa Direksi Perhutani sebagai Tergugat I, Menteri Kehutanan Republik Indonesia sebagai Tergugat III, Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat sebagai Tergugat IV dan Pemerintah Daerah ting-kat II Garut sebagai Tergugat V, seluruhnya memiliki tanggung jawab mutlak strict liability terhadap dampak yang timbul dikarenakan adanya longsor yang terletak di kawasan Gunung Mandalawangi, Garut. Amar putusan tersebut juga menyebutkan bahwa menghukum para tergugat untuk melakukan perbaikan atas lingkungan dan melakukan pembayaran biaya perbaikan lingkungan hutan tersebut senilai Rp dua milyar rupiah; kemudian menghukum para tergugat untuk membayar ganti kerugian kepada masyarakat yang menjadi korban longsor di wilayah Gunung Mandalawangi sebesar Rp sepuluh milyar rupiah dan menyatakan bahwa putusan atas kasus lingkungan hutan Mandalawangi dilaksanakan terlebih dahulu uitvoerbaar bejvooraad. Kasus kerusakan lingkungan yang kedua terkait dengan kasus PT. Kallista Nomor 16/ yang merupakan perusahaan yang mengel-olah sawit dan pembuatan minyak sawit yang banyak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Bahwa pada 25 Agustus 2011 PT. Kallista Alam mendapat surat izin tentang usaha perkebunan budidaya untuk menggerakan perkebunan kelapa sawit. Namun sebelum aktifisasi, pada bulan November 2011 penggolahan tanah tersebut terpaksa PT. Kallista Alam melakukan pengentian berdasarkan surat keputusan gubernur tentang pencabutan izin usaha perkebunan dikarenakan ketidaksesuaian titik koordinat objek dengan kenyataan sebenarnya error in objekto. Sesuai Pengadilan Negeri Meulaboh dalam putusan Nomor 12 / tertanggal 8 Januari 2014 jo Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 50/PDT/2014/ Tanggal 15 Agustus 2014 jo Putusan Mahkamah Agung Nomor 651 K/PDT/ 2015 Tanggal 28 Agustus 2015 jo Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 PK/PDT/2015 tangal 18 April 2017, posisi batas koordinatnya adalah 98º 32´ ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi 89 21″ BT maka dapat terlihat secara jelas dimana objek gugatan dalam putusan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Pada putusan pertama di Pengadilan Negeri Meulaboh menyatakan PT Kallista Alam terbukti bersalah dan wajib melaksanakan putusan. PT. Kallista Alam melaksanaan putusan yang inkracht kepada Pengadilan Negeri Meulaboh berdasarkan surat Nomor S-103/PSLH/ yang meminta eksekusi. Namun dalam Pengadilan Negeri Meulaboh menolak dan tidak men-dukung atas pelaksanaan atau eksekusi dari putusan Mahkamah Agung serta mengeluarkan surat Nomor 12/ yang berisikan menunda pelaksanaan eksekusi dari mahkamah agung hingga ada putusan peninjauan kembali yang diajukan oleh PT. Kallista Alam. Hal ini jelas melang-gar hukum acara, bahwa peninjauan kembali tidak menundak eksekusi karena kasus ini merupakan upaya hukum terakhir, dan ironisnya terdapat pelanggaran hukum acara dilakukan oleh peradilan tersebut. Kemudian untuk kedua kalianya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajukan aanmaning terkait dengan surat Nomor 12/ Putusan Nomor 1 PK/PDT/2017 Mahkamah Agung menolak Penin-jauan Kembali PT. Kallista Alam dan menyatakan bersalah telah melanggar ketentuan dalam putusan Pengadilan Negeri Meulaboh. Sehingga muncullah surat nomor 5793/DK-P/VI/2017 berkaitan dengan PT. Kallista Alam yang meminta Pelindungan terhadap Pengadilan Negeri Meulaboh. Dari hal tersebut, Pengadilan Negeri Meulaboh mengeluarkan putusan Nomor 16/ PN yang menyatakan putusan Mahkamah Agung pada Tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban karena tidak memiliki titel eksekutorial. Alasan yang memberatkan PT. Kallista Alam adalah lokasi kebakaran sesuai dengan titik koordinat izin usaha yang dimiliki oleh PT. Kallista Alam, sehingga kerusakan yang ditimbulkan dari kebakaran lahan merupakan konsekuensi logis bahwa pencemar bertanggungjawab untuk mengganti rugi polluter must pay principle. Pembukaan lahan dengan pembakaran hutan jelas perbuatan melanggar hukum termasuk dampak yang ditimbulkan dari pembakaran hutan. Dalam kasus kerusakan lingkungan yang ketiga, yaitu Sungailiat, melibat-kan warga Kenangan, Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka, yang terdiri dari Robandi, Muhammad Yusuf, Mulyadi, Yamsul Effendi, Heti Rukmana, dan Aditama, yang masing-masing merupakan mantan ketua Rukun Tetangga RT II, III, IV, V, VI dan VII. Kasus ini diawali dari penolakan keenam mantan Ketua RT tersebut terhadap bantuan yang diberikan berupa bantuan pangan dimana diberikan PT Bangka Asindo Agri BAA terhadap warga masyarakat yang berada di wilayah administrasi mereka, yang selanjutnya merembet ke hal Elsa Nastiti Dama Yanti, “Efektivitas Putusan Pengadilan Pidana dan Perdata Ka-sus Pembakaran Lahan Studi Kasus Pembakaran Lahan Berkelanjutan oleh PT. Kallista Alam,” no. 32 1390 14–15. Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 90 lain hingga keenamnya didak-wa telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam pasal 228 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP, atas tindakan mereka karena telah bersama-sama telah sepakat dan menandatangani surat undangan yang isinya adalah sosialisasi mengenai rencana persetujuan terhadap pemberian kuasa kepada Advokat Zaidan dalam menggugat hukum PT Bangka Asindo Agri PT. BAA atas bau yang ditimbulkan dari produksi tepung tapioca, surat tertanggal 24 Mei 2020. Surat undangan sosialisasi ditandatangani oleh keenam orang tersebut dengan memposisikan diri seolah-olah masih sebagai Ketua RT dan menggunakan stempel RT II, RT III, RT IV, RT V, RT VI dan RT VII padahal pada saat itu mereka telah melakukan pengunduran diri sebagai Ketua RT melalui surat pengunduran diri masing-masing tertanggal 22 April 2020 yang ditanda tangani diatas materai. Melalui putusan pengadilan tingkat pertama yaitu Putusan Pengadilan Negeri Sungailiat Nomor 475/ tanggal 6 April 2021. keenamnya dinyatakan telah terbukti melakukan suatu tindak pidana dimana kesemuanya bersama-sama dengan sengaja dan sadar telah memakai tanda kepangkatan atau melakukan suatu perbuatan yang didalamnya termasuk jabatan yang tidak dijabatnya atau yang ia sementara dihentikan daripadanya” dan dikenakan pidana penjara karenanya. Baik dari pihak terdakwa dan juga penuntut umum mengajukan permo-honan banding atas Putusan Nomor 475/ tersebut, dan permohonan banding secara formal diterima. Kemudian Pengadilan Tinggi Bangka Belitung Nomor 21/PID/2021/PT. BBL menjatuhkan putusan untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sungailiat Nomor 475/ 2020/PN Sgl tanggal 6 April 2021 sebelumnya. Dalam putusan banding terse-but juga menyatakan bahwa para terdakwa terbukti melakukan perbuatan se-bagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum, namun perbuatan Para Ter-dakwa tersebut bukan atau tidak termasuk Tindak Pidana dan atas dasar tersebut semua terdakwa dilepaskan dari seluruh tuntutan Pidana. Alasan yang memberatkan dalam perkara ini bahwa terbukti menggunakan tanda kepangka-tan atau perbuatan yang termasuk dalam jabatannya secara Bersama-sama untuk melakukan, menyuruhlakukan dan turut serta melakukan hal yang merugikan masyarakat. Analisis terkait dengan perbedaan argumentasi yuridis dari ketiga putusan tersebut adalah dimana pada kasus Mandalawangi hakim dalam putusan kasus tersebut telah berani keluar dari aturan perundang-undangan yang dilakukan dengan melihat fakta-fakta dilapangan dengan memperluas konsep strict liability ini dengan tidak mendasarkan pada Pasal 35 UUPLH 1997 dengan mengklasifikasikan pengelolaan hutan lindung sebagai kegiatan yang berbahaya extra hazardous atau tidak lazim non natural use. Hakim mendasarkan pu-tusannya pada asas in dubio pro natura yang artinya bahwa apabila hakim men-galami keragu-raguan dalam memutuskan perkara maka hakim mengedepankan Scheffer, Precautionary and Preventions Principles,” 1996 ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi 91 perlindungan lingkungan dalam putusannya. Asas tersebut merupakan turunan dari asas kehati-hatian atau precautionary principle dengan bentuk Analisa Mengenai Dampak Lingkungan yang dijelaskan didalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hakim sendiri dida-lam kasus ini telah berani untuk menemukan keadilan dengan keluar dari pera-turan perundang-undangan dan memposisikan dirinya sebagai penemu hukum atau istilah lainnya adalah rechts vinding. Pada putusan dimana hakim menyatakan Dalam keadaan kurangnya ilmu pengetahuan, termasuk adanya perten-tangan pendapat yang saling mengecualikan, sementara keadaan lingkungan sudah sangat rusa, maka pengadilan dalam kasus ini memilih dan juga berpedoman pada prinsip hokum lingkungan hidup atau yang dikenal sebagai precautionary principle, prinsip ke-15 yang terkandung dalam prinsip pembangunan berkelanjutan United Nation Conference on Environment and Development. Walaupun prinsip ini belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia, tetapi Indonesia sebagai anggota dalam konferensi tersebut, maka semangat dari prinsip ini dapat dipedomani dan diperkuat dalam mengisi kekosongan hukum dalam praktek. Hakim secara tidak langsung telah mengubah acuan hukum soft law dimana keputusan memperluas strict liability tersebut yang tidak sesuai dengan undang-undang di Indonesia dan mengubahnya menjadi hard law dan dapat digunakan menjadi acuan putusan pengadilan dengan mendasarkan kepada prinsip Deklarasi Rio tahun 1992 ke dalam putusan kasus Hutan Mandalawangi. Pada kasus PT. Kallista Alam dalam penegakan hukum perdata meng-hasilkan beberapa putusan yang berbeda-beda. Dalam gugatannya menjadi hal yang patut diapresiasi, Namun dalam permasalahannya gugatan ini tidak tereal-isasi dengan baik hanya menyentuh kerusakan lahan yang ditimbulkan dari kasus kerusakan hutan tersebut. Tindakan yang dilakukan Pengadilan Meulaboh dalam hal ini telah bertindak melampauai kewenangan dan tidak konsisten dalam memberikan keadilan. Dalam prinsip hukum yang berkaitan dengan prinsip kebebasan hakim yang memiliki kebebasan yang absolut dengan menyelesaikan perkara secara obyektif berdasarkan hukum yang berlaku, yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam proses pengambilan putusan tersebut. Dan ten-tunya dalam pertimbangan putusan hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi landasan hukum. Dengan demikian dalam pemutusan sengketa harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab yang besar sebab dari putusan hakim tersebut yang nantinya akan membawa dampak yang sangat jauh pada kehidupan orang lain. Penerapan prinsip hukum ini berbanding terbalik dalam putusan pengadi-lan Meulaboh, dan hakim tidak sepenuhnya menerapkan prinsip kebebasan da-lam kasus ini. Bahwa tindakan yang dilakukan oleh PT Kallista Alam seakan tidak mengindahkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup. Kerusakan dikare-nakan adanya pembukaan lahan dengan metode pembakaran yang berakibat Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 92 rusaknya lahan gambut dan lepasnya efek gas rumah kaca hingga kebakaran massif. Tetapi terkait dengan putusan PT. Kallista Alam hakim hanya condong ke pihak tersebut dan dinilai telah menggagalkan pelaksanaan eksekusi putusan sebelumnya dan memperlihatkan pada keperpihakan perusakan lingkungan. Bahwa Pengadilan Meulaboh tidak hanya sekali saja melakukan penundaan PT. Kallista Alam tetapi sebelumnya Pengadilan Meulaboh pun menyetujui terhadap penundaan pelaksanaan putusan dengan didasari alasan karena adanya upaya hukum luar biasa, padahal pengajuan peninjauan kembali tidak dapat menjadi alasan dalam penundaan eksekusi atau putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Lain halnya dengan kasus Mandalawangi dan Kallista Alam, dalam Kasus Sungailiat hakim pada pengadilan tingkat pertama mengesampingkan konsepsi mengenai Pejuang Lingkungan Hidup yang seharusnya dilindungi dari gugatan, Hakim menilai perbuatan para Terdakwa tidak sebagai pejuang lingkungan hidup. Namun dengan adanya upaya banding, Hakim tingkat banding mem-berikan argumentasi yuridis yang condong berpihak pada pejuang lingkungan hidup. Hakim menganggap bahwa “Partisipasi” dapat dimaknai sebagai unsur dari Pasal 66 Undang-undang No. 32 tahun 2009 apabila menilik pada Memorie Van Toelichting Undang-undang No. 32 tahun 2009 yang diartikan secara rinci bahwa dalam pengaturan Pasal 66 Undang-undang tahun 2009 tersebut adalah satu kesatuan bagian ketentuan tentang hak yang salah satunya dapat dil-aksanakan melalui “Partisipasi”, selanjutnya makna “Memperjuangkan” sendiri merupakan aktifitas yang mana perbuatannya dapat berbentuk Partisipasi, maka konstruksi pasal 66 Undang-undang tahun 2009 mengandung 2 dua unsur utama Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation Anti-SLAPP yaitu Partisipasi atau ekspresi dan Kepentingan Publik lingkungan. Dalam huruf B angka 4 SK KMA Nomor 036/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pe-doman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup yang didalamnya disebutkan dimana untuk memutuskan sebagaimana Pasal 66 Undang-undang No. 32 tahun 2009 bahwa gugatan Penggugat atau pelaporan terhadap tindak pidana dari Pemohon meruapakan SLAPP yang tentunya dapat dikemukakan baik dalam provisi, eksepsi atau dalam gugatan rekonvensi dan/atau pembelaan dan hal tersebut haruslah diputuskan terlebih dahulu dalam suatu putusan sela. Dalam putusannya Hakim banding memuat pertimbangan hukum mengenai konsepsi Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation Anti-SLAPP yang diatur dalam Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 yang dihubungkan dengan Huruf B angka 4 SK KMA Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberla-kuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, oleh sebab itu, tinda-kan Para Terdakwa dianggap sebagai tindakan partisipasi dalam suatu perjuang-an bagi lingkungan hidup yang terjamin bersih serta sehat, dimana tindakan tersebut tidaklah dapat digugat ataupun dilaporkan pihak Kepolisian sebagai-mana bunyi Pasal 66 Undang-undang tahun 2009 dimana unsur dari ANTI SLAPP tidaklah bisa dituntut baik secara Pidana ataupun Perdata. ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi 93 Perbedaan Putusan Hakim dan Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia Mertokusumo menyatakan bahwa putusan hakim artinya suatu pern-yataan yang oleh hakim, menjadi pejabat yang diberi kewenangan yang diucap-kan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu kasus atau konkurensi antara para pihak. Sedangkan berdasarkan Mulyadi, putusan hakim adalah putusan yang diucapkan oleh hakim dalam persidangan, di mana dibacakan terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat pada bentuk tertulis dengan tujuan me-nyelesaikan masalah. Asas-asas Putusan Hakim dijelaskan dalam pasal 1778 HIR, Pasal 189 Rbg dan pasal 19 yang ada pada Undang-Undang nomor 48 Ta-hun 2009 perihal kekuasaan kehakiman, diantaranya. Pertama, asas memuat da-sar alasan yang kentara serta rinci, menurut asas ini bahwa setiap puutusan yang dijatuhkan oleh hakim wajib sesuai pertimbangan yang kentara dan cukup sebab putusan yang tidak memenuhi ketentuan itu mengkategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd insuffcient judge-ment. Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan pasal tertentu peraturan perundang-undangan, aturan kebiasaan, yurisprudensi, atau doktrin hukum. kedua, wajib mengadili seluruh bagian guga-tan adalah putusan harus menilik dan mengadili setiap bagian gugatan yg di-ajukan secara menyeluruh tanpa terkecuali, tidak boleh hanya mempelajari seba-gian saja. Ketiga, tidak boleh mengabulkan melebihi yang diminta yang biasa diklaim ultra petitum partium yaitu bahwa putusan tidak boleh melebihi apa yang diminta pada gugatan. Keempat, diucapkan di muka umum yaitu putusan hakim dianggap sah bila diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Putusan hakim mengkategorikan menjadi putusan sela serta putusan akhir. Putusan sela ialah putusan yang bersifat ad interim yg diucapkan secara terpisah sebelum dijatuhkannya putusan akhir akan tetapu putusan sela ini hanya ditulis dalam berita acara persidangan tidak didesain dengan putusan tersendiri. dalam teori serta praktiknya, putusan sela mengkategorikan dalam beberapa macam putusan, diantaranya putusan preparatoir, putusan interloc-utoir, putusan incidenteel, serta putusan provisioneel. Sedangkan putusan akhir merupakan pernyataan hakim menjadi pejabat negara yang diberi kewenangan untuk diucapkan pada persidangan serta bertujuan untuk mengakhiri atau me-nuntaskan masalah atau sengketa antara pihak yang berperkara serta diajukan Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Jogyakarta, Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Prespektif Teoritis Dan Prakter Pradilan, Mandar Maju, 2007, hal 127. Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 94 pada pengadilan. Melandaskan pada sifat putusan terdapat putusan declaratoir, putusan constitutief, dan putusan condemnatoir. Sedangkan dicermati dari isi putusan ada putusan dalam aspek kehadiran para pihak putusan gugur, putusan verstek dan putusan contradictoir. Konsistensi putusan hakim memiliki makna adanya kesepahaman hakim dalam memandang suatu permasalahan hukum atau pertanyaan hukum. Konsistensi putusan sendiri dapat memberikan kepastian hukum dan juga akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap peradilan itu sendiri. Adanya ketidakkonsistenan hakim dalam mengeluarkan putusan bisa saja menjadi faktor pelemahan penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Dalam pelaksanaannya pada kasus Mandalawangi hakim dapat dikatakan tidak konsisten dalam menge-luarkan putusan karena dalam penerapan Precautionary Principle dalam pertim-bangannya Majelis Hakim tingkat pertama mendasarkan putusannya pada prinsip ke 15 yang terkandung dalam asas Pembangunan Berkelanjutan pada Konverensi Rio tanggal 12 Juni 1992, putusan tersebut dinilai tidak memiliki dasar hukum dikarenakan belum menjadi hukum positif di Indonesia, dan alasan tersebut dianggap kurang tepat apabila dijadikan jalan keluar untuk mengisi kekosongan hukum, dikarenakan sudah ada hukum positif yang mengatur masalah lingkungan hidup dan kehutanan, yaitu UUPLH pada Pasal 3, 6, 14, 15, 34 dan 35 dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada Pasal 43, 45, 48, 60 dan Hakim tetap pada pendiriannya dimana dalam pertimbangannya memberikan alasan bahwa suatu ketentuan hukum Internasional dapat pula digunakan oleh hakim nasional apabila telah dipandang sebagai ”jus cogen” sehingga hakim sendiri beranggapan bahwa dirinya tidak salah dalam menerap-kan hukum dimana hakim sendiri mengadopsi dari ketentuan hukum Internasi-onal. Pertimbangan hakim tersebut sudah benar dalam menerapkan Precauti-onary Principle walaupun pada UU Nomor 23 Tahun 1997 belum dianut Precautionary Principle sebagaimana telah dianut UU Nomor 32 Tahun 2009. Namun, hukum lingkungan sendiri pada umumnya cukup banyak mendasar-kan pada ketentuan-ketentuan yang ada pada hukum internasional dan hakim sendiri mendasarkan putusannya atas dasar keadilan bagi masyarakat korban longsor Mandalawangi tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa ketidakkonsisten hakim dalam putusan Mandalawangi ini tidak menjadi pelemahan penegakan hukum di Indonesia justru memberikan pandangan baru mengenai kasus Abdul Manan, 2008, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, Jakarta Kencana, hal 308 Loura Hardjaloka, “Ketepatan HAKIM DALAM Penerapan Precautionary Princi-ple sebagai „Ius Cogen ‟ dalam Kasus Gunung Mandalawangi The Accuracy of Im-plementing Precautionary Principle as „ Ius Cogen ‟ in the Case of” 5, no. 2 2012 134–53. ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi 95 hukum lingkungan di Indonesia dan memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat yang terkena dampak dari kasus lingkungan tersebut. Kasus Mandalawangi ini menjadi kasus yang dapat dikatakan telah mem-beri dampak yang cukup penting dalam penanganan atau litigasi kasus ling-kungan di Indonesia. Kasus ini juga memberikan gambaran mengenai putusan hakim yang memberi keadilan substantif. Walaupun sebenarnya penerapan ius cogen dalam putusan hakim tersebut perlu dikaji ulang bahwasanya tidak ada argumen dari para pihak yang bersengketa dari tingkat pertama sampai dengan tingkat kasasi. Namun hakim tetap pada pandangannya dimana penerapan jus cogen penting dalam memutuskan kasus Mandalawangi itu sendiri yang mengedepankan unsur lingkungan dan mengadopsi hukum internasional kepada hukum nasional dimana lebih spesifik dalam mengatur klasifikasi pengelolaan hutan lindung. Namun, ketidakkonsistenan hakim dalam putusan juga dapat menjadi indikasi pelemahan penegakan hukum di Indonesia. Terkait dengan kasus PT. Kallista Alam berdasarkan berbagai pelaksanaan putusan perdata pada kenyatannya jauh dari kata efektif karena terjadi inkonsistensi putusan Pengadilan Negeri Meulaboh yang awalnya memutuskan perkara tersebut dengan menetapkan PT. Kallista Alam bersalah, namun pada akhirnya menge-luarkan putusan yang menyatakan untuk melindungi PT. Kallista Alam dari ber-bagai tuntutan dan memberi perlindungan hukum. Kemudian adanya ketidak-sewenangan dari Pengadilan Meulaboh yang menyatakan untuk tidak melak-sanakan putusan Mahkamah Agung sebelum adanya putusan Peninjauan Kem-bali sesuai dengan Pasal 66 ayat 2 UU MA menyatakan bahwa peninjuan kem-bali tidak menunda pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pertimbangan hakim pada Pengadilan Negeri Meulaboh memunculkan bahwa kekuasaan kehakiman hanya menjadi alat untuk mengesampingkan kepastian hukum yang sudah seharusnya menjadi tujuan dari penegakan hukum dan berbanding terbalik menjadi jauh dari tujuan penegakan hukum yaitu keadi-lan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Gugatan dari PT. Kallista Alam yang telah diterima oleh Pengadilan Negeri Meulaboh berkaitan dengan pembahasan error in objecto yang sebenarnya persolan tersebut tidak diambil kembali dikarenakan objek telah diperiksa dalam proses persidangan, dan segala upaya hukum telah dilakukan dan hakim setiap tingkat menerangkan PT. Kallista Alam terbukti memenuhi perbuatan melawan hukum. Adapun upaya hukum yang dilakukan dengan mengajukan penentangan eksekusi yang seharusnya dilaksanakan oleh pihak ketiga yang berkepentingan, bukan oleh PT. Kallista Alam. Berdasarkan dari Koalisi Anti Mafia Hutan telah menelaah 3 kejanggalan dalam penerapan hukum terkait kasus PT. Kallista Alam yaituPertama, Kallista Alam, “6 Mei 2018 Berita buruk bagi lingkungan Berkomplotnya mafia peradilan dengan korporasi perusak hutan ?,” no. 16 2018. Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 96 Tercantum amar putusan poin 4 yang menerangkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1/PK/PDT/2015 tanggal 18 April 2017 tidak memiliki titel eksekuto-rial terhadap PT. Kallista Alam. Kedua. Majelis hakim keliru dalam menerapkan hukum. Dalam putusan No. 16/Pdt-G/2017/ hakim telah menggu-gurkan segala tanggung jawab PT. Kallista Alam yang membatalkan putusan Mahkamah Agung, pada dasarnya dalam pasal 195 HIR terkait upaya perlawa-nan suatu putusan wajib dilaksanakan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Ketiga, Majelis hakim telah keliru memahami objek perkara. Yaitu lokasi yang berada di luar Hak Guna Usaha, tetapi PT. Kallista Alam meminta agar terlepas dari tanggung jawab kerugian lingungan hidup di lokasi Hak Guna Usahanya Bahwa Majelis Hakim terdapat kekeliruan dalam putusan ini yang mengamini gugatan PT. Kallista Alam dengan tidak mendalami muatan putusan sebelumnya. Dalam putusan PN Meulaboh dapat diduga untuk menggagalkan pelaksanaan putusan sebelumnya, dan lebih berpihak terhadap perusakan lingkungan. Bahwa dalam Kasus Sungailiat perbedaan pendapat antara Hakim pada Tingkat Pertama dengan Hakim Tingkat Banding menunjukan adanya perkem-bangan hukum yang penting dalam pemaknaan Pejuang Lingkungan Hidup. Hakim tingkat Banding dalam pertimbangan hukumnya mengaitkan persoalan tersebut dengan Huruf B angka 4 SK KMA Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, di-mana menyebutkan dimana dalam konteks penanganan perkara, maka seorang hakim dalam putusannya harus mempertimbangkan kemampuan hukuman yang dijatuhkan untuk memberikan efek jera, menguatkan mekanisme pengawasan untuk menjamin tidak berlanjutnya pelanggaran dan terlindunginya hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini juga sejalan dengan teori hukum responsif bahwa hukum harus kompeten, adil, dan harus memperdulikan keinginan publik dan memiliki komitmen dalam mencapai keadilan. Hukum merespon terhadap kebutuhan sosial dan penegakan hukum yang lebih responsif pada nilai yang hidup di masyarakat. Dalam hal ini masyarakat membutuhkan haknya untuk dilindungi atas lingkungan hidup yang sehat. Dalam putusannya Hakim banding mengangkat isu indikasi mengenai SLAPP yang terjadi dan menganggap bahwa terhadap perbuatan para Terdakwa merupakan bentuk partisipasi yang memperjuangkan tentang kepentingan ling-kungan hidup yang terjadi di wilayah mereka dan tepat dikatakan bahwa para Terdakwa merupakan pejuang lingkungan hidup. Dapat terlihat jelas bahwa hal ini menunjukan dukungan terhadap pejuang lingkungan hidup. Konsepsi perlin-dungan terhadap pejuang lingkungan hidup yang nampak dalam putusan ini Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Surat Keputusan Mahkamah Agung RI No. 36/KMA/SK/II/2013 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.,” 2013. ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi 97 dapat diartikan sebagai perkembangan hukum yang penting, dimana dapat memberikan pengaruh pertimbangan terhadap kasus-kasus kerugian lingkungan yang dapat terjadi kedepannya. Tabel 1. Ringkasan Putusan Tindak Pidana yang Dilakukan Hutan Mandalangi, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat Alih fungsi hutan dan penebangan tanpa reboisasi yang menyebabkan longsor Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV, dan Tergugat V bertanggung jawab secara mutlak strict liability atas dampak yang ditimbulkan oleh adanya longsor kawasan hutan Gunung Manda-lawangi serta menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV, dan Tergugat V untuk melakukan pemulihan keadaan lingkungan di areal hutan Gunung Mandalawangi Kebun Kelapa Sawit, Kabupaten Nagan Raya, Propinsi Aceh Pembakaran hutan dan perusakan ling-kungan oleh PT. Kallista Alam Putusan Mahkamah Agung Nomor 651 K/PDT/2015 Tanggal 28 Agustus 2015 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 PK/PDT/2017 tang-gal 18 April 2017 yang berisikan tentang gugatan pembakaran hutan tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban hukumnya kepada PT. Kallista Alam, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 PK/PDT/ 2017 tanggal 18 April 2017 tidak mempunyai titel eksekutorial terhadap PT Kallista Alam Kabupaten Bangka, Propinsi Bangka Belitung Tindak pidana menyalahgunakan jabatan dan/ atau wewenang yang merugikan masyarakat Menyatakan terdakwa I. Robandi als Abah bin Rahim Alm, terdakwa II. Muhammad Yusuf als Yusuf bin Seman alm, terdakwa III. Mulyadi als Aak bin Abdul Latif, Terdakwa IV. Syamsul Effendi als Fendi bin Darwis, Terdakwa V. Heti Rukmana als Heti binti Maryadi, dan Terdakwa VI. Aditama als Adi bin Sanadi Agani Alm tersebut diatas terbukti melakukan perbuatan Indonesia Environmental dan Law Outlook, Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi, 2021. Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 98 sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum dalam dakwaan Pertama maupun Kedua, akan tetapi perbuatan Para Terdakwa tersebut bukanlah merupakan Tindak Pidana Dari perbedaan berbagai putusan, maka penegakan hukum terkait prak-tiknya tidaklah sederhana. Sebab terkait proses pembuktiannya sangat berbelit-belit, dalam menyelesaikan suatu perkara dalam konteks lingkungan hidup tidaklah cukup hanya dengan mengimplementasikan suatu ketentuan-ketentuan hukum yang ada didalamnya, tetapi juga diperhatikan pentingnya judicial activism yang dilakukan dengan penemuan hukum dan penciptaan hukum dalam suatu putusannya yang bertujuan untuk melahirkan keadilan baik manusia dan ling-kungan agar terpeliharanya lingkungan yang terjamin. Dalam putusannya hakim tentunya wajib dan harus memahami suatu permohonan hak gugat yang mana telah diajukan oleh pihak-pihak bersangkutan, maka kepentingan tersebut tidak dalam bentuk ganti kerugian yang dialami korban saja namun juga harus meli-puti ganti kerugian untuk pemulihan lingkungan yang tercemar atau rusak akibat perbuatan pelaku. Masalah lingkungan dalam hukum pidana memberikan sedikit penawaran kepada masyarakat mengenai kerusakan yang dialami lingkungan dengan mem-berikan ancaman pidana pelaku pencemaran. Namun sekalipun adanya pemida-naan terhadap pelaku, kerusakan lingkungan pun sudah terjadi dan tidak akan pulih atau dalam putusannya pengadilan dapat mengharuskan pelaku memper-baiki kerusakan tetapi ada hakim yang masih mengindahkan ketentuan terkait memperbaiki lingkungan yang rusak tersebut dan condong kepada perusak ling-kungan. Sehingga dari putusan tersebutlah berpengaruh pada putusan yang ber-beda menimbulkan ketidakkonsistenan hakim. Dalam keberlangsungannya, dengan adanya ketidakkonsistenan putusan terhadap kasus-kasus kerugian lingkungan dapat dimaknai sebagai bentuk pelemahan hukum lingkungan di Indonesia, tetapi juga tidak menutup kemung-kinan ketidakkonsistenan tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk kepastian hukum yang diberikan lebih dari sekedar prosedur hukum yang ada, dan menan-dakan adanya perkembangan hukum yang dapat berpengaruh terhadap kepas-tian-kepastian hukum dalam kasus kerugian lingkungan selanjutnya. Prim Haryadi, “Pengembangan Hukum Lingkungan Hidup Melalui Penegakan Hukum Perdata di Indonesia,” Jurnal Konstitusi 14, no. 1 2017 129, ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi 99 Kesimpulan Dilematika pengaturan di dalam hukum positif yang memberikan ruang kebebasan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan serta interpretasi indepen-densi hakim dalam kaitannya menyatakan perbedaan pendapat dissenting opinion pada sebuah putusan lingkungan hidup memang menjadi paradoks. Timbulnya ketidakkonsisten hakim dalam putusan lingkungan hidup dapat dimaknai se-bagai pelemahan penegakan hukum lingkungan di Indonesia, namun juga dapat dimaknai sebagai pemberi pandangan baru dan kepastian hukum lingkungan di Indonesia. Pada kasus Mandalawangi hakim dapat dinilai tidak konsisten dalam penerapan putusan dengan tidak mendasarkan putusannya pada peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan di Indonesia, namun ketidakkon-sistenan tersebut memberikan kepastian hukum yang lebih dari sekedar prosedur hukum yang ada. Terkait kasus Kallista Alam ketidakkonsisten Hakim dimaknai sebagai pelemahan penegakan Hukum karena Pertimbangan putusan hakim memunculkan bahwa kekuasaan kehakiman hanya menjadi alat untuk mengesampingkan kepastian hukum yang sudah seharusnya menjadi tujuan dari penegakan hukum. Dalam putusan Sungailiat perbedaan argumentasi hakim mengenai konsepsi Pejuang Lingkungan Hidup menunjukkan adanya perkem-bangan hukum yang penting dalam pemaknaan konsep tersebut. Daftar Pustaka Alam, Kallista. “6 Mei 2018 Berita buruk bagi lingkungan berkomplotnya mafia peradilan dengan korporasi perusak hutan?,” no. 16 2018. Anindita, Sri Laksmi, “Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Ling-kungan Hidup,” Jurnal Hukum Acara Perdata 3, No. 2 2017 331-350. Christiawan, Rio. “Penetapan Pengadilan Sebagai Bentuk Upaya Hukum Pada Proses Eksekusi.” Jurnal Yudisial 11, no. 3 2018 369. Dama Yanti, Elsa Nastiti. “Efektivitas Putusan Pengadilan Pidana dan Perdata Kasus Pembakaran Lahan Studi Kasus Pembakaran Lahan Berkelanjutan oleh PT. Kallista Alam,” no. 32 1390 14–15. Deville, A and Applying the Precautionary Principle, 1997. Environmental, Indonesia, dan Law Outlook. Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi, 2021. Hamid, Muhammad Amin. “Hidup Dalam Menanggulangi” 6 88–117. Hardjaloka, Loura. “Ketepatan Hakim Dalam Penerapan Precautionary Princi-ple sebagai „Ius Cogen ‟ dalam Kasus Gunung Mandalawangi The Accu-racy of Implementing Precautionary Principle as „ Ius Cogen ‟ in the Case of” 5, no. 2 2012 134–53. Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 100 Haryadi, Prim. “Pengembangan Hukum Lingkungan Hidup Melalui Penegakan Hukum Perdata Di Indonesia.” Jurnal Konstitusi 14, no. 1 2017 129. Hermawan, Sapto., Wida Astuti, “Penggunaan Penta Helix Model Sebagai Upaya Integratif Memerangi Sampah Plastik di Laut Indonesia,” Bina Hukum Lingkungan 5, No. 2 2021 237–261, Hermawan, Sapto., Wida Astuti “Analysing several ASEAN countries' policy for combating marine plastic litter,” Environmental Law Review 23, No. 1 2021 9-22, Imamulhadi, “Perkembangan Prinsip Strict Liability dan Precautionary dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Pengadilan,” Mimbar Hukum 25, No. 3 2013 417-432. Juanda, Sutiyanti. “Representasi Kerusakan Lingkungan Di Indonesia Dalam Puisi Media Daring Indonesia Kajian Ekokritik,” 3, no. 2 2016 98–107. Mahkamah Agung Republik Indonesia. “Surat Keputusan Mahkamah Agung RI No. 36/KMA/SK/II/2013 Tentang Pemberlakuan Pedoman Pe-nanganan Perkara Lingkungan Hidup.,” 2013. Manan, Abdul, 2008, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadi-lan Agama, Jakarta Kencana. Mulyadi, Lilik Kompilasi Hukum Pidana Dalam Prespektif Teoritis Dan Prakter Pradilan, Mandar Maju, 2007. Mertokusumo, Sudikno, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Jogya-karta. Scheffer. "The Precautionary and Preventions Principles," 1996. Nurdu, Arief. Hukum lingkungan Perundang-Undangan Serta Berbagai Masalah Dalam Penegakannya, 1999. Parlina, Nurasti, “Penerapan Class Action di Indonesia Studi Kasus Putusan Nomor 1794 K/PDT/2004,” Jurnal Poros Hukum Padjadjaran 2, No. 2 2021 237-252. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlin-dungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlin-dungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 2009. Pengadilan, D I. “Perkembangan Prinsip Strict Liability Dan Precautionary Da-lam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Pengadilan.” Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 25, no. 3 2014 416–32. ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi 101 Permana, Rizky Banyualam. “hukum internasional made in garut? Mengkritisi status jus cogens atas prinsip kehati-hatian dalam mandalawangi,” Volume 5, Nomor 1, Oktober 2020, DOI 2020. © 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution CC BY SA license Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 102 [Halam ini sengaja dikosongkan] Muhammad Ainurrasyid Al FikriStrict liability in the context of companies in environmental damage refers to the legal principle which states that companies can be held fully responsible for environmental damage resulting from their operational activities, without having to prove the fault or negligence of the company. This means that the company can be held responsible for environmental damage caused, whether intentionally or unintentionally. This study used normative legal research, while the approaches used are combining statutory, a conceptual and a case approach. The development of strict liability in positive law in Indonesia has experienced development and refinement over time, indicated by the application made in several cases concerning environmental violations by several irresponsible parties. Basically, the implementation of strict liability really helps the aggrieved parties, especially the common people, in enforcing environmental laws in Indonesia. The principle of strict liability in environmental damage has a number of important implications. First, companies are required to take careful precautions in their operations to prevent environmental damage. They must follow strict environmental standards and implement suitable technologies to reduce their negative impact on the environment. Second, companies must pay compensation for environmental damage resulting from their operations, even if they are not to blame for the damage. The principle of strict liability eliminates the need to prove the company's fault or negligence, therefore that the company must be financially responsible for the environmental losses ParlinaAbstrak Gugatan perwakilan atau class action dalam penyelesaian sengketa hukum lingkungan di Indonesia mengalami tren positif pasca adanya PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok yang kemudian disusul dengan adanya gugatan perwakilan sebagaimana Putusan Nomor 1794 K/Pdt/2004 yang merupakan preseden dalam hal penerapan gugatan perwakilan di Indonesia. Tulisan ini hendak mengkaji bagaimana penerapan gugatan perwakilan yang diajukan oleh korban longsor Mandalawangi. Metode penelitian ini menggunakan yuridis normatif dengan pendekatan studi kasus. Penulis kemudian menyimpulkan bahwa penerapan gugatan perwakilan dalam kasus ini sudah sesuai dengan peraturan yang ada dan telah diterapkan oleh Hakim dengan sangat baik. Kemudian salah satu manfaat dari adanya gugatan perwakilan dalam perkara ini adalah adanya kepastian atas ganti rugi yang akan didapatkan oleh korban longsor Mandalawangi. Hal ini menandakan bahwa gugatan perwakilan di Indonesia jika diterapkan secara benar akan memudahkan masyarakat yang mencari keadilan. Kata kunci Ganti rugi; Gugatan Perwakilan; Lingkungan Hidup. Abstract Class action in the settlement of environmental legal disputes in Indonesia has experienced a positive trend after the existence of PERMA of 2002 about class action procedure which was then followed by a representative lawsuit in Decision Number 1794 K / Pdt / 2004 which is a precedent in the application of a representative lawsuit in Indonesia. This paper is reviewing the application of the representative lawsuit filed by the Mandalawangi landslide victims. The research method uses normative juridical with a case study approach. The author then concluded that the application of the representative suit in this case was in accordance with the existing regulations and had been implemented by the Judge very well. Then one of the benefits of having a representative suit in this case is the certainty of compensation that will be collected by the victims of the Mandalawangi landslide. This indicates that the representative suit in Indonesia, if properly implemented, will make it easier for people seeking justice. Keywords Compensation; Environment; Representative ChristiawanABSTRAKPengadilan Negeri Meulaboh melalui Putusan Nomor 12/ jo. Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 50/Pdt/2014/ jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 651 K/Pdt/2015, menghukum PT KA untuk membayar ganti rugi atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan sebagai akibat dari kebakaran hutan. Putusan Peninjauan Kembali Nomor 1 PK/Pdt/2017 yang dimohonkan PT KA juga menolak permohonan peninjauan kembali PT KA. Ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajukan perintah eksekusi, justru Pengadilan Negeri Meulaboh menerbitkan Penetapan Nomor 1/Pen/Pdt/Eks/2017/ yang menunda eksekusi dan memberikan perlindungan hukum kepada PT KA, dengan alasan PT KA sedang mengajukan gugatan baru kepada pemerintah. Permasalahan dalam penelitian ini apakah Penetapan Nomor 1 Pen/Pdt/Eks/2017/ dapat menunda putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Metode dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pengambilan data secara kepustakaan dengan cara berpikir deduktif dalam melakukan verifikasi data. Bagian pembahasan penelitian ini akan diuraikan bahwa penetapan dalam kasus PT KA ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam peradilan dan dikhawatirkan akan menjadi preseden baru yang kontraproduktif dalam penegakan hukum dan dapat disimpulkan bahwa penetapan tersebut melanggar prinsip hukum kunci penetapan, eksekusi, preseden baru. ABSTRACTMeulaboh District Court through its Decision Number 12/ in conjunction with Decision of the Banda Aceh District Court Number 50/Pdt/2014/ in conjunction with Supreme Court Decision Number 651 K/Pdt/2015, sentenced PT KA to pay compensation for environmental damage due to forest fires. PT KA filed an extraordinary request for review which was then rejected through Court Decision Number 1 PK/Pdt/2017. By the time the Ministry of Environment and Forestry filed a writ of execution, the District Court of Meulaboh issued the Injuction Number 1/Pen/Pdt/Eks/2017/ which ordered postponement of the execution and granted a legal protection to PT KA with the legal basis that PT KA was filing a new claim against the government. The main problem is whether the Injunction of Court Number 1/Pen/Pdt/Eks/2017/ can delay a court decision that has a permanent legal force. This research is conducted through normative juridical method based on literature sources by means of deductive reasoning in data verifying. The discussion in this research shows and explains that the injunction in the case of PT KA will cause legal uncertainty in judicial proceeding and is feared to create a new precedent that is counterproductive in law enforcement. The research concludes that the injunction has violated the main principle of procedural injunction, execution, new HaryadiDalam penegakan lingkungan hidup melalui pendekatan hak gugat perdata maka pihak penggugat tidak hanya menderita kerugian materiil akan tetapi dapat pula dirugikan atas rusaknya lingkungan hidup di sekitar tempat tinggalnya. Pada beberapa putusan perdata di bidang lingkungan hidup ditemukan adanya putusan yang merupakan hal yang baru dalam perkembangan hukum lingkungan di Indonesia. Dalam hal hak gugat, Pengadilan Negeri Samarinda telah mengakomodir hak gugat warga negara yang dikenal juga dengan citizen lawsuit action popularis. Apabila gugatan diajukan oleh pemerintah melalui Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK maka perkembangannya mengarah pada pro natura yaitu sistem pembuktian yang menerapkan konsep strict liability sehingga KLHK sebagai penggugat tidak perlu lagi membuktikan tentang adanya kesalahan tergugat. Namun demikian tidak seluruh putusan tersebut diikuti dengan hukuman untuk memulihkan lingkungan yang telah rusak dan/atau tercemar, seperti Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Putusan tersebut belum sejalan dengan ketentuan Pasal 54 UUPPLH yang mewajibkan kepada setiap pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup. Putusan-putusan pengadilan tersebut menunjukkan bahwa majelis hakim dalam memeriksa dan memutus perkara lingkungan hidup belum memahami dan mengusai perhitungan biaya pemulihan lingkungan akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Oleh karena itu hakim dalam menangani perkara-perkara perdata lingkungan hidup tidak cukup dengan menerapkan ketentuan hukum yang telah ada, namun juga memerlukan suatu judicial activism sebagai upaya untuk mengembangkan hukum lingkungan hidup di Indonesia. In the environmental enforcement approach civil right to sue the plaintiff not only suffered material losses but can also be harmed by the destruction of the environment in the vicinity of his residence. In some civil verdict in the environmental field found any decision which is a new thing in the development of environmental law in Indonesia. In the case of right to sue, Samarinda District Court has accommodated right to sue a citizen also known as citizen lawsuit action popularis. If the lawsuit filed by the government through the Ministry of Environment and Forestry KLHK then leads to the development of pro natura namely authentication system, which applies the concept of strict liability so KLHK as plaintiffs no longer need to prove the defendant’s guilt. However, not all the decision followed by the penalty to restore the environment that has been damaged and/or contaminated, such as the Tanjung Pinang District Court and District Court of North Jakarta. The verdict is not in line with the provisions of Article 54 UUPPLH which requires that every polluter and/or wrecking the environment for the restoration of the environment. Court decisions indicate that judges in examining and deciding environmental cases not yet understand and master the calculation of recovery costs due to environmental pollution and/or destruction of the environment. Hence judges in handling cases of environmental-civil case is not sufficient to apply the provisions of the existing law, but also requires a judicial activism in an effort to develop environmental law in Indonesia. Sapto HermawanWida AstutiThe recent 34th ASEAN Summit, held in Thailand in June 2019, issued two important documents related to the marine environment’s protection, namely The Bangkok Declaration on Combating Marine Debris in the ASEAN Region and the ASEAN Framework of Action on Marine Debris Framework of Action. Therefore, this research analyses the several policies implemented by ASEAN countries to reduce marine plastic litter. This is primarily assessed using several indicators by Konisky and Woods, namely 1 programmatic indicators of state environmental policy activism, which is usually incorporated into an index reflecting the quality of the national ecological system, 2 the amount of money spent by the state government on environmental protection, 3 the number of private-sector expenditure on environmental pollution reduction, also used as a proxy for the stringency of state environmental regulation and 4 counts of state environmental regulatory enforcement actions. This research showed that ASEAN countries consider that the process used in handling marine plastic litter needs to be resolved collaboratively and comprehensively. Therefore, each country already has programmatic indices and regulatory actions with the majority relatively weak on other indicators, primarily on government expenditures, enforcement programs and pollution abatement Mei 2018 Berita buruk bagi lingkungan berkomplotnya mafia peradilan dengan korporasi perusak hutan?Kallista AlamAlam, Kallista. "6 Mei 2018 Berita buruk bagi lingkungan berkomplotnya mafia peradilan dengan korporasi perusak hutan?," no. 16 2018.Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan HidupSri AninditaLaksmiAnindita, Sri Laksmi, "Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup," Jurnal Hukum Acara Perdata 3, No. 2 2017 Putusan Pengadilan Pidana dan Perdata Kasus Pembakaran Lahan Studi Kasus Pembakaran Lahan Berkelanjutan oleh PT. Kallista AlamDama YantiElsa NastitiDama Yanti, Elsa Nastiti. "Efektivitas Putusan Pengadilan Pidana dan Perdata Kasus Pembakaran Lahan Studi Kasus Pembakaran Lahan Berkelanjutan oleh PT. Kallista Alam," no. 32 1390 the Precautionary PrincipleA DevilleR HardingDeville, A and Applying the Precautionary Principle, 1997. Environmental, Indonesia, dan Law Outlook. Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi, Hakim Dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai "Ius Cogen " dalam Kasus Gunung Mandalawangi The Accuracy of Implementing Precautionary Principle as " Ius Cogen " in the Case ofLoura HardjalokaHardjaloka, Loura. "Ketepatan Hakim Dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai "Ius Cogen " dalam Kasus Gunung Mandalawangi The Accuracy of Implementing Precautionary Principle as " Ius Cogen " in the Case of" 5, no. 2 2012 Penta Helix Model Sebagai Upaya Integratif Memerangi Sampah Plastik di Laut IndonesiaSapto HermawanAstuti WidaHermawan, Sapto., Wida Astuti, "Penggunaan Penta Helix Model Sebagai Upaya Integratif Memerangi Sampah Plastik di Laut Indonesia," Bina Hukum Lingkungan 5, No. 2 2021 237-261,
Sedangkanperusakan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan (Pasal 1 ayat 14 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997). BPcj. 370 337 438 99 341 229 427 228 221

yang bukan merupakan tindakan perusakan terhadap makhluk hidup adalah